M. Firdaus[2]
Negara adalah
sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh
pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki kedaulatan. Negara juga
merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku
bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen. Syarat
primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan
syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. (https://id.wikipedia.org/wiki/Negara)
Negara kesatuan adalah negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai
satu kesatuan tunggal,di mana pemerintah pusat adalah
yang tertinggi dan satuan-satuan subnasionalnya hanya
menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat
untuk didelegasikan. Bentuk pemerintahan kesatuan diterapkan oleh banyak negara di
dunia termasuk Indonesia. Britania Raya adalah contoh negara kesatuan. Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, bersama-sama dengan Inggris adalah negara-negara konstituen dari Britania Raya, mereka memiliki satu taraf kekuasaan devolutif otonom-yakni Pemerintah Skotlandia dan Parlemen Skotlandia di Skotlandia, Majelis Pemerintah
Wales dan Majelis Nasional Wales di Wales, dan Eksekutif Irlandia
Utara dan Majelis Irlandia Utara di Irlandia Utara. Tetapi kekuasan devolutif
itu hanya didelegasikan oleh Pemerintah Britania Raya, lebih spesifiknya oleh Parlemen Britania Raya, yang tertinggi di bawah doktrin kedaulatan parlementer. Lebih jauhnya,
pemerintah-pemerintah devolutif secara konstitusional tidak dapat menentang undang-undang yang dihasilkan oleh
parlemen Britania Raya, dan kekuasaan pemerintah-pemerintah devolutif tidak
dapat diperluas atau dipersempit oleh pemerintah pusat (parlemen dengan suatu
pemerintahan yang terdiri dari Kabinet, yang dikepalai oleh perdana menteri). Misalnya, Majelis Irlandia
Utara pernah dibubarkan sebanyak empat kali, dan kekuasaannya dialihkan
kepada Kantor Irlandia Utara yang dijalankan
pemerintah pusat.
Wajah Indonesia Kekinian
Demokrasi: Dari, oleh, dan untuk pemodal
M. Firdaus: DPW HTI Jatim |
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses demokrasi sangat mahal.
Untuk Pemilu 2014, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat alokasi
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun 2014 sebanyak Rp 14,4 triliun. Dana pesta demokrasi juga harus dirogoh mahal oleh
peserta Pemilu. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia
(LPEM UI) mengungkapkan bahwa seorang calon anggota legislatif DPR wajarnya
mengeluarkan rata-rata dana sebesar Rp 1,18 miliar (Sumber: Antara, LPEM FE UI). Teguh Dartanto
selaku peneliti LPEM menyebutkan, besarnya anggaran Pemilu seorang caleg menyebabkan
potensi tindakan korupsi ketika terpilih.
Semakin tinggi jabatan yang diperebutkan semakin tinggi pula
biaya kampanye yang dikeluarkan. Total belanja iklan capres di media massa
(Cetak, Televisi dan Radio) mencapai Rp 123,54 miliar. Dengan rincian kubu
Jokowi-Kalla menghabiskan Rp 61,94 miliar untuk iklan. Adapun kubu
Prabowo-Hatta menghabiskan Rp 61,41 miliar. Angka belanja iklan para capres
2014 belum dihitung biaya iklan di media online. Angka belanja
iklan di atas pun hanya dihitung di lima kota.
Pada titik inilah kepentingan pemodal bertemu. Para kandidat
baik caleg maupun calon kepala daerah dan calon presiden membutuhkan dana
sangat besar. Adapun para pemodal membutuhkan pengistimewaan dari penguasa.
Jadilah para pemodal sebagai investor Pemilu. Mereka membiayai kandidat untuk
imbalan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Karena itu sudah menjadi kewajiban
penguasa yang menang Pemilu untuk mengabdi kepada investornya. Terbitlah
berbagai regulasi yang menguntungkan mereka. Tepatlah dikatakan bahwa demokrasi
itu bukan “dari, oleh dan untuk rakyat”; namun demokrasi “dari, oleh dan untuk
pemodal”.
Bentuk konkrit persekongkolan antara penguasa dan pemodal adalah banyaknya UU
produk DPR yang menguntungkan asing. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari
kepada Tempo interaktif mengatakan, “Ada 76 undang-undang
yang draft-nya dilakukan pihak asing,” kata Eva. Eva mengatakan,
temuan ini diperoleh dari sumber Badan Intelijen Negara. Puluhan UU dengan
intervensi asing itu dilakukan dalam 12 tahun pasca reformasi. Inti dari
intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia.
Contohnya: UU tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air.
Menurut Eva, akibat intervensi itu telah
dirasakan masyarakat kini. Contohnya dalam industri perbankan dan
pertanian. Di industri perbankan, aset bank nasional masih miskin. Pada bidang
pertanian, nasib petani makin rentan. “Kita sangat tergantung pada impor
akibat liberalisasi yang dilakukan,” ujarnya. Jelas, penyebab kehancuran negeri ini adalah ideologi dan sistem
kapitalis (ekonomi liberal dan politik demokrasi).
Negara dengan penguasa boneka hanya menjadi regulator. Dengan
regulasi pesanan pemodal. Kekayaan alam menjadi milik swasta. Dengan alasan
negara tak punya dana maka semua sektor publik yang menguasai kehidupan rakyat
diswastanisasi, dari hulu sampai hilir; termasuk air bersih, listrik, BBM,
pendidikan bahkan kesehatan. Untuk penyelenggaraan negara, penguasa pun memeras
rakyat dengan pajak yang mencapai 80% pendapatan dalam APBN. Ideologi sekular mengharuskan negara berdiri netral
terhadap semua agama dan keyakinan. Agama tidak boleh mengatur negara, termasuk
Islam yang menjadi agama bagi mayoritas penduduk negeri ini. Islam sebagai
agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan telah disingkirkan secara permanen
oleh negara. Akibatnya, kehidupan umat Islam makin hari makin jauh dari
agamanya.
Politik
Pemerintahan
Dalam ruang politik di negeri ini, sistem pemerintahan seakan
berjalan bukan untuk kepentingan, keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan
kemandirian rakyatnya. Rezim berjalan untuk
kepentingan asing, aseng maupun asong. Dalih-dalih berkedok
hukum digunakan dalam rangka mempelancar proyek-proyek penyokong rezim.
Kepentingan menjadi poros dalam roda pemerintahan. Saat kepentingan mereka
harus mengorbankan rakyat, tanpa ragu itulah yang dilakukan dalam mengeluarkan
kebijakan-kebijakan.
Politik berjalan dengan prinsip mencari kesempatan agar meraih
keuntungan besar demi kepentingan pihaknya. Inilah politik oportunistik dan pragmatis yang
sedang terjadi di negeri ini. Asal sama dalam kepentingan demi keuntungan,
pihak-pihak yang dulu “perang” bisa begitu “lengket” seakan
tidak bisa terpisah. Juga sebaliknya, ketika saatnya berbeda kepentingan,
komitmen politik yang dibangun bersama, bisa pecah dan menjadi
seakan “musuh” dalam politik.
Sehingga ketika politik hanya berbasis kepada kepentingan partai
atau kelompoknya. Sangat mungkin jika kepentingan rakyat akan terabaikan. Hal
ini terjadi sebenarnya karena perilaku para pemangku kekuasaan yang tidak
menunjukkan sikap negarawan sejati. Serta ditambah dengan sistem politik yang
berlaku saat ini adalah demokrasi-liberal. Hasilnya bisa dilihat dari
kombinasi politikus dan sistem politik yang berdasar kepentingan dan kebebasan
ini, akan muncul kebijakan-kebijakan yang merusak seperti legalisasi miras, prostitusi, dan lainnya. Selain tidak berpihak kepada rakyat, juga
akan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Semua muncul, sejatinya atas peran
serta sistem politiknya, yakni demokrasi, dan juga perilaku orang di dalamnya.
Ekonomi
Dalam ruang ekonomi, negeri ini menggunakan
paradigma neo-imperialisme dan neo-liberalisme dan
ideologi kapitalisme. Negeri ini sekarang berada dalam
cengkeraman neo-liberalisme dan neo-imperialisme,
yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian. Neo-liberialisme dengan
gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat.
Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan
kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya
pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara. Regulasi
tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi
antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh
pihak asing, aseng maupun asong.
Terbukti dengan adanya catatan oleh pengamat di
Universitas Airlangga Surabaya, Bambang Budiono MS, M. Sosio yang mengatakan,
72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM;
IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No
22/2001).
Kemudian neo-imperialisme atau penjajahan gaya
baru, yang berbeda dengan dulu. Ketika dulu menjajah dengan penjajahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika
dijajah,
maka neo-imperialisme saat
ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar
jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah
(penguasaan sumber ekonomi/gold), menancapkan kekuasaaan (glory),
penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi
eksploitasi kekayaan alam,
menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya
yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, kekayaan alam
dirampok, daya beli rendah, PHK dan lain-lain. Selain itu, akibat yang sangat
terlihat adalah utang negara yang kian melambung. Menurut data BPS utang negara
pada tahun 2005 sebesar US$ 134.504 juta. Pada tahun
2010, sebesar US$ 202.413 juta, dan pada tahun 2015 mencapai US$ 310.722 juta. Kesimpulan dari
data di atas adalah rata-rata setiap tahunnya bukan penurunan utang yang
terjadi. Akan tetapi sebaliknya, utang negara Indonesia kian melambung tinggi.
Dan bahkan hingga triwulan pertama 2017, utang negara Indonesia mencapai US$ 326,3 miliar atau setara
dengan Rp 4.343,38 triliun. Angka itu naik 2,9 persen dibandingkan
periode yang sama pada 2016.
Masalah-masalah yang terjadi dalam persoalan ekonomi adalah
karena pola dari sistem ekonomi kapitalisme dalam mengcengkeram
Indonesia dengan neo-liberalisme dan neo-imperialisme-nya. Pada akhirnya negara akan dikendalikan oleh
pemilik modal, dan akan mempengaruhi keluarnya kebijakan yang tidak pro rakyat.
Selain itu secara perlahan aset-aset negara semakin terkuras oleh para kapital
yang dipayungi oleh regulasi negara.
Hukum
Dalam persoalan hukum sudah bukan barang baru lagi jika orang
akan mengatakan hukum seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pandangan tersebut bukan berdasarkan asumsi semata, namun karena fakta penegakan
hukum di negeri ini. Bahkan Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa salah
satu masalah utama di negeri ini adalah keadilan yang belum dirasakan secara
penuh oleh rakyat, dan belum tegaknya hukum dengan seadil-adilnya.
Sebagai contoh adalah adanya kegaduhan akhir-akhir ini.
Kegaduhan terjadi sebenarnya disebabkan oleh penindakan hukum yang terlihat
jelas lambat dari perangkat-perangkat negara kepada oknum yang notabene
dekat dengan rezim.
Islam Mencegah Dominasi Pemilik
Modal Terhadap Negara
Bagaimana Islam menyelesaikan semua karut-marut kehidupan di
negeri ini? Bagaimana cara Islam agar penguasa, yakni Khalifah, yang terpilih
bukan antek pengusaha, namun benar-benar pelayan umat?
1. Kedaulatan di tangan syariah.
Kedaulatan adalah di tangan syariah (as-siyâdah
li asy-syar’i).
Kedaulatan di tangan syariah itu berarti, hanya Allah SWT saja
yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat, misalnya: QS al-An’am: 57; QS
asy-Syura: 10) (Shalah ash-Shawi, Nazhariyah as-Siyâdah wa
Atsaruha ‘ala Syar’iyyah al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 31-32).
Dengan demikian, secara otomatis syariah-lah yang menentukan segalanya, bukan manusia seperti dalam
sistem demokrasi. Karena itu, siapa pun penguasanya, tidak
berwenang membuat UU yang bertentangan dengan syariah. Para pengusaha tidak
bisa mengintervensi pembuatan UU agar memberikan pengistimewaan kepada mereka.
Anggota Majelis Umat juga tidak bisa mengintervensi Khalifah atas kepentingan
para pengusaha. Misal, UU tentang khamar atau miras. Miras jelas dalam Islam
haram. Itu pasti dan disepakati seluruh umat Islam sepanjang masa. Karena itu, semua bentuk miras dilarang, termasuk pabriknya dan
distribusinya. Dalam hal pengelolaan kekayaan umum seperti tambang migas dll,
para pengusaha juga tidak bisa menekan penguasa agar memberi mereka kewenangan
mengelola tambang-tambang migas.
2. Konsepsi kepemilikan umum
memutus rantai penjajahan dalam ekonomi oleh konglomerat.
Kepemilikan umum adalah ijin Asy-Syâri’ kepada
masyarakat dalam memanfaatkan harta. Harta-harta ini terealisasi dalam tiga
jenis. Pertama: Harta yang dinilai sebagai bagian dari
fasilitas umum, yang jika tidak tersedia untuk masyarakat maka mereka akan
terpecah atau berselisih dalam mencarinya. Kedua: Tambang yang
berlimpah. Ketiga: Sesuatu yang tabiat
pembentukannya menghalangi individu untuk menguasainya. Nabi saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِيْ ثَلَاثٍ: اَلْمَاءِ وَالْكَلَأِ
وَالنَّارِ
Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi).
Itu artinya, air (seperti sungai, laut, pantai, danau); padang
yang luas di gunung, dataran, sabana dan hutan; api dengan makna sumber api
seperti hutan kayu, tambang batubara, minyak dan gas; semuanya adalah milik
umum. Artinya, barang-barang itu dan apa yang dihasilkan darinya termasuk harta
yang dimiliki oleh semua individu rakyat secara bersama. Semuanya dimungkinkan
untuk memanfaatkannya secara langsung atau melalui pengaturan tertentu yang dilakukan
oleh negara.
Adapun tambang mineral yang tidak terputus, yakni depositnya
besar, Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: bahwa ia pernah menghadap Rasulullah saw. dan meminta tambang
garam. Lalu beliau memberikan tambang itu kepada dia. Ketika ia hendak pergi,
seseorang dari majelis berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan? Tidak lain
Anda memberikan kepada dia sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Ia
(perawi) berkata, “Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia.” (HR
at-Tirmidzi).
Air yang terus mengalir, yakni tidak terputus, merupakan garam
(yaitu mineral) dengan air yang terus mengalir karena tidak terputus. Hal itu
menunjukkan bahwa mineral semisal ini—tambang berbagai mineral seperti besi,
tembaga, fosfat, uranium, emas, perak dan lainnya—termasuk sesuatu yang tidak
boleh dimiliki oleh individu.
Sistem Islam memastikan agar rakyat memperoleh kesejahteraan
yang menjadi haknya. Kekayaan alam milik umum tidak boleh sama sekali dikuasai
swasta. Apalagi swasta asing. Karena itu Khalifah tidak berhak menyerahkan
pengelolaan migas, misalnya, kepada para pengusaha. Tambang emas di Papua,
misalnya, harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan
sendirinya akan mampu menjauhkan para penguasa menjalin KKN dengan pengusaha.
3. Sikap tegas memberantas korupsi
dan kolusi.
Dengan penerapan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum
tunggal di negeri ini, syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat
efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun
penindakan (kuratif). KH Muhammad Shidiq al-Jawi menjelaskan bahwa secara
preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut
syariah Islam sebagai berikut:
Pertama: Rekrutmen
SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan
berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi
aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas)
dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW.
pernah bersabda, ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).
Kedua: Negara
wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar
bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar
pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah
jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok.”
Ketiga: Negara
wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi
saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah,
hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah.
Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau
kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,” Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Ketiga: Islam
melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW. bersabda, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri
gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR
Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW.
berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht
(haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).
Keempat: Islam
memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar
bin al-Khaththab ra. pernah menghitung kekayaan para pejabat pada awal dan
akhir jabatannya.
Kelima: Adanya
teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam
masyarakat, termasuk pimpinannya. Islam menetapkan kalau seseorang memberi
teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang
meneladaninya. Sebaliknya, kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan
mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Keenam: Pengawasan
oleh negara dan masyarakat. Khalifah Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh
masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham.
Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan
itu, wahai Umar.”
Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya
dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan
hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan
oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau
teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman
disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 78-89).
Masukan HTI untuk Kebaikan Indonesia
Dengan banyaknya masalah yang mendera Indonesia, di sinilah
kemudian saya melihat HTI mempunyai peran sangat penting. Sebab HTI memberikan
tawaran berupa gagasan-gagasan yang mampu menyelesaikan segala persoalan
negeri. HTI ingin agar masalah-masalah yang ada bisa terselesaikan. Saya
melihat HTI hadir dengan gagasan yang jernih sebagai penyelesaian atas segenap
problem di Indonesia.
HTI tidak pernah berhenti menyuarakan gagasan-gagasan dalam setiap
kegiatannya. HTI berusaha membangun kesadaran dan
memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa semua masalah di dalam
negeri ini bisa diselesaikan. Memberikan edukasi adalah peran strategis
dalam membangun masyarakat, dan ini adalah peran yang begitu vital di
saat pemerintah cenderung belum mampu melakukannya.
Oleh karena itu, saya melihat ketika HTI
mengajak masyarakat untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan
individu, keluarga, masyarakat serta negara adalah semata untuk menyelesaikan
segala masalah di Indonesia. Dan atas apa yang HTI lakukan
semua, itu adalah peran yang sangat penting dalam membangun negeri agar semakin
baik, sehingga Indonesia sebenarnya sangat membutuhkan peran serta HTI.
HTI adalah aset bangsa dengan konsep-konsepnya yang total solusi
dalam berbangsa dan bernegara, carut marut problematika dalam negeri akan mampu
diurai bukan hanya sekedar retorika namun semuanya ada acuan fakta serta
keimanan, begitu pula posisioning dalam percaturan peran dan nilai strategis
Negara di kancah luar negeri agar mampu memberikan nilai tawar sekaligus
memimpin dunia.
Inilah konsep HTI, sekarang mana konsepmu!
Wallaahua’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...