Oleh:
Rosy Asliandra[2]
Indonesia
adalah kisah panjang yang tertaut di permukaan dinding sejarah peradaban dunia.
Terlalu dangkal kiranya jika memaknai Indonesia hanya kelanjutan wilayah
administatif Hindia-Belanda. Lebih dari itu, kawasan yang dahulu dikenal dengan
Nusantara ini, adalah gugusan pulau-pulau yang menjahit peradaban lintas benua.
Posisinya yang menjadi jembatan dua samudera dan dua benua, memungkinkan
kawasan ini memiliki intensitas kesibukan di atas rata-rata belahan dunia
lainnya. Sebagai jembatan, nusantara tidak pernah sepi dari interaksi lintas
peradaban yang pada gilirannya menimbulkan dialog peradaban dengan konsekuensi akulturasi. Tidak hanya itu,
gugusan pulau-pulau yang dihuni beragam corak masyarakat, budaya, dan tradisi
mengantarkan masyarakat Nusantara pada sebuah proses mengenal dan menghormati
perbedaan di sekitar.
Rosy Asliandra: Kordinator Bipliopolis Book Review Surabaya |
Lebih
dari itu, popularitas Nusantara sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur tiada terperi, dan manusianya
ramah berperadaban tinggi, jelas menjadi modal besar untuk menarik
bangsa-bangsa belahan dunia lain singgah di negeri ini. Tabiat ramah dan
keadaban tinggi manusia Nusantara inilah menjadi alasan keterbukaan dalam
pergaulan global dan kesiapan menerima hal-hal yang berasal dari luar tanah
moyangnya. Nusantara adalah kawasan yang siap menerima sekaligus menumbuhkan segala
macam bentuk budaya, ideologi, dan tradisi. Hal itu akan mudah tumbuh dan
hidup berkelanjutan sepanjang bisa dicerna oleh sistem nilai setempat.
Warisan
agung Nusantara selanjutnya yang kemudian hari direfleksikan oleh para pendiri
bangsa sebagai semangat ke-Indonesia-an adalah etos kerja sama alias gotong
royong. Semangat gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa manusia
Indonesia jauh sebelum Negara konstitusional diproklamirkan 17 Agustus 1945 silam. Dalam keseharian masyarakat
Nusantara, semangat gotong royong menjadi mercusuar kekeluargaan dalam berbagai
bidang pekerjaan. Sebut saja dalam penggarapan lahan. Masyarakat agraris kita
mampu mewarnai kesehariannya dengan etos pertanian yang bersifat religius dan gotong royong dalam rangka
meringankan penggarapan lahan secara bersama-sama. Sifat-sifat religius dan
sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat.
Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya,
yang mengembangkan pelbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan
dengan kawasan Asia manapun (Oppenheimer: Latief, 2011: 3).
Sejarah
terus berlangsung. Ekspansi kolonialis-kapitalis telah menjelma dalam wujud
penindasan ekonomi-politik yang pada gilirannya meruntuhkan sifat kemakmuran,
toleransi, kosmopolitan, dan kekeluargaan dari tanah air. Di sisi lain,
kolonialis-kapitalis juga membawa kontradiksi-kontradiksi internal sendiri yang
membawa unsur emansipasi baru, seperti humanism, prikebangsaan,
demokrasi, dan keadilan yang semakin memperkokoh karakter keindonesiaan (Latief: 2011, 5). Dari anasir-anasir
kebangsaan yang mengendap dalam jiwa masyarakat Indonesia dan dikolaborasi
dengan gaya emansipasi baru itulah kelak para pendiri bangsa merumuskan sumber
jati diri, falsafah Negara, dan pandangan hidup bersama.
Secara
resmi bangsa Indonesia mendiskusikan konsepsi dasar Negara Indonesia merdeka
setelah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dr. Radjiman Wediodiningrat yang
bertindak sebagai ketua BPUPKI, dengan resmi meminta kepada sidang (29 Mei
1945) untuk mengemukakan dasar Negara Indonesia merdeka. Permintaan ini sontak
merangsang para pendiri bangsa untuk memutar ulang ingatan-ingatan tentang
Indonesia masa lalu. Mereka tertuntut untuk menggali ulang api sejarah,
kerohanian, kepribadian, dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur
sejarah. Khasanah peradaban masa lalu yang mereka upayakan untuk digali dengan
tujuan kelak dimanifestasikan dalam bentuk konsepsi rasional dan runtut.
Dari
kenyataan di atas, jelaslah Pancasila sebagai dasar Negara bukanlah pungutan
yang semata-semata sesuai dengan selera para perumus kala itu. Akan tetapi,
Pancasila dirumuskan berdasar pada kenyataan-kenyataan yang hidup dan konsisten
mewarnai kehidupan peradaban Indonesia masa lalu. Secara legal formal, dasar
Negara yang disebut Pancasila diramu di atas meja BPUPKI. Akan tetapi
bahan-bahan ramuan pemikirannya telah diracik sejak awal
pergerakan kebangsaan Indonesia. Setidaknya semenjak awal tahun 1920-an di mana bertebaran kreativitas anak bangsa
merumuskan gugus kebangsaan yang diidealisasi.
Dapur
Para Pendiri Bangsa
Semangat
perumusan konsepsi ideologi pada masa awal pergerakan nasional tidak hanya
bergaung di Indonesia. Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pada tahun 1924,
juga gegap gempita mencari rumusan ideologi politik Indonesia merdeka. Dalam
konsepsi PI, Indonesia merdeka harus berdasar pada empat hal: persatuan
nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian. Empat konsepsi ideologis
PI ini sebenarnya merupakan sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan
nasional adalah konsepsi dari Indische Partij. Non-kooperasi adalah plat
form kaum marxis, kemandirian adalah konsepsi politik Sarekat Islam, dan
solidaritas adalah simpul pemersatu dari tiga tema utama tersebut (Latief:
2011).
Upaya
penciptaan sintesis juga dilakukan HOS Tjokroaminoto. Raja Jawa tanpa mahkota
itu mensintesiskan antara Islam, Sosialisme, dan Demokrasi. Sebagaiman Tjokro
menegaskan “Jika kita, kaum muslim benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh
melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi demokrat dan
sosialis sejati” (Tjokroaminoto). Selain Tjokroaminoto, upaya mensintesiskan
arus besar ideologi dunia untuk konsepsi ideologi Indonesia merdeka adalah Tan
Malaka. Meskipun Tan dibesarkan di luar negeri, tapi ia tidak melupakan
kenyataan-kenyataan yang berkembang di Indonesia. Karya monumentalnya yang
berjudul Naar De Republiek Indonesia (menuju republik Indonesia) adalah
konsepsi ideologi luar biasa untuk Indonesia merdeka seratus persen. Tan
percaya bahwa demokrasi memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat
Indonesia. Bahakan dia pernah menyarankan kepada komunis internasional (komintern)
agar bekerja sama dengan Pan-Islamisme dengan pertimbangan Islam di Indonesia
tidak bisa dipandang sebelah mata.
Adalah
Sukarno yang juga memiliki libido perjuangan menuju Indonesia merdeka turut
menyumbangkan gagasan konsepsi ideologis lewat tulisannya di majalah Indonesia
moeda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Tulisan
ini mengisyaratkan betapa pentingnya pertautan antara tiga ideologi besar dalam
membesarkan sebuah bangsa dan ketiganya jualah menjadi roh perjuangan
bangsa-bangsa di Asia, serta tiada guna ketiganya bertikai di Negara terjajah.
Puncak
petualang intelektual para pendiri bangsa menciptakan monumen besarnya tepat
pada tanggal 28 Oktober 1928. Momen yang kita kenal dengan nama Sumpah
Pemuda itu adalah simbol perjuangan mensintesiskan anasir-anasir kebangsaan
yang beragam. Saat itu pemuda seluruh Nusantara berkumpul mengucapkan sumpah di
hadapan ibu pertiwi atas nama kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa
persatuan.
Perdebatan-perdebatan seputar dasar Negara
memang memanas di meja BPUPKI, PPKI, dan panitia Sembilan. Akan tetapi
perdebatan seputar pancasila sebagai dasar Negara telah final. Para pendiri
bangsa dari berbagai golongan, baik dari golongan Islam, kebangsaan dan yang
lain sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar Negara dan pemersatu bangsa.
Dari kenyataan ini jelas, bahwa Pancasila adalah karya bersama bangsa Indonesia.
Sukarno pun menegaskan bahwa pancasila bukanlah karya Sukarno, tapi karya
bersama bangsa Indonesia.
Sebagai
rujukan universal, Pancasila menjadi penting diusahakan bagi bangsa Indonesia
untuk kian memperdalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan di setiap sisi
kehidupan. Dalam menghidupkan kembali nilai-nilai dan keutamaan Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara,
perlu diupayakan perjuangan serius dalam upaya membumikan
pancasila. Upaya kontekstualisasi dalam keseharian membutuhkan kesadaran
kolektif dari seluruh elemen kebangsaan, terlebih pihak yang memegang kendali kuasa. Mari ber-Pancasila secara menggaram dengan
penghayatan dan implementasi konkrit dalam setiap pola pikir, pola tindak, dan
pola laku keseharian kita.
Yudi
Latief menawarkan gagasan radikalisasi Pancasila sebagai upaya revolusi
gagasan. Radikalidasi dimaksud adalah: 1) Mengembalikan Pancasila sebagai
ideologi Negara,
(2) Mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) Mengupayakan Pancasila memiliki
konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi
dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula melayani
kepentingan vertikal (Negara), menjadi Pancasila yang melayani secara
horizontal,
(5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan Negara.
Tulisan versi PDF-nya dapat dibaca/download di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...