Senin, 10 April 2017

Konflik Sosial Kapitalisasi Agraria[1]

Oleh: Muhammad Mihrob[2]
Tulisan ini sebenarnya merupakan ulasan singkat dari hasil riset yang penulis lakukan untuk tugas akhir mahasiswa strata satu. Selain sebagai tanggung jawab akademis dan intelektual, penulis rasa sangat penting membahas sekaligus mengulas tema ini sebagai tanggung jawab sosial atas persoalan-persoalan kompleks agraria yang terjadi di masyarakat. Meski lokus dan karakter sosial dalam riset ini adalah pada masyarakat pedesaan yang guyub. Bukan hal mustahil persoalan serupa juga terjadi pada lokus kota dengan dinamika sosialnya.

Proses kapitalisasi agraria sejak dua tahun terakhir memang telah menjadi persoalan akut dan aktual. Kapitalisasi agraria adalah suatu proses pengambilalihan fungsi tanah masyarakat oleh investor untuk kepentingan pemupukan modal (capital accumulation) melalui penanaman modal (modal investment) dengan memanfaatkan sumber daya manusia, alam, dan tekonologi. Dalam proses kapitalisasi agraria ini muncul suatu kecenderungan akan adanya dampak kerusakan lingkungan berupa pencemaran, abrasi, perusakan lahan bahkan pelanggaran peraturan pemerintah.

Dalam konteks kapitalisasi agraria di Sumenep, di mana sudah lebih dari sekitar 500 hektar tanah dikuasai investor hingga saat ini, memantik reaksi kritik dari sejumlah masyarakat. Reaksi kritik tersebut munguap karena selain terdapat kejanggalan-kejanggalan, juga banyak menyalahi hukum adat-istiadat setempat. Karena itu, sejak Juli 2016 ketika Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kab. Sumenep menggelar acara “Khalaqah Kedaulatan  Tanah”, masyarakat (terutama pemuda) Sumenep mulai gencar melakukan audiensi dengan pemerintah daerah mengawal kebijakan tentang agraria.

Reaksi kritik masyarakat mengenai dampak kapitalisasi agraria itu juga terjadi di Desa Andulang Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Desa ini penulis jadikan lokasi penelitian karena realitas persoalan agraria di dalamnya bisa dibilang unik. Tepatnya di Dusun Laok Lorong terdapat lahan seluas ±20 hektar yang sekarang telah dimiliki oleh investor untuk kepentingan tambak udang. Sangat luas untuk ukuran tambak. Uniknya, di tengah-tengah tambak  tersebut terdapat lahan seluas 1.455 m² milik seorang warga yang tidak mau dijual kepada investor. Dalam keadaan demikian, bukan hal mustahil jika konflik mengemuka. Antara pemilik lahan dan pengusaha tambak (termasuk pekerja di dalamnya) memiliki perbedaan kepentingan sehingga meretakkan ikatan emosional.

Realitas Konflik
Ralf Dahrendorf (1929-2009) dalam buku Class and Class Conflict in Industrial Society menjelaskan mengenai masyarakat yang terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). Di dalam struktur sosial semacam ini terdapat perbedaan kepentingan pada masing-masing kelompok sosial berdasarkan sebuah wewenang yang menjadi tanggung jawab individu atau nilai sosial yang dianutnya. Perbedaan kepentingan ini memiliki potensi kontradiktif yang akan terus berlangsung sebelum kemudian terjadi perubahan dalam struktur sosial. Apa yang dimaksud Dahren dorf sebagai “kepentingan” ini (sebagaimana Margaret M. Polo manafsirkan), memiliki dua sisi yakni: kepentingan manifest (disadari) dan kepentingan laten (tidak disadari).

Dalam konteks kapitalisasi agraria di Andulang, lahirnya kelompok kepentingan ini kemudian menjadi cikal-bakal timbulnya konflik dalam struktur sosial masyarakat. Perbedaan kepentingan yang terlihat antara kelompok kepentingan dengan kelompok penguasa-pengusaha dapat mengakibatkan konflik struktural. Kepentingan pemerintah desa dalam mengembangkan perekonomian masyarakat di Andulang (meski cenderung partial dan temporal) bekerjasama dengan investor/kapitalis yang memiliki kepentingan akumulasi modal berdampak konflik dan ketegangan, baik itu konflik dengan kelompok masyarakat yang tidak tunduk pada kekuasaan maupun dengan kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan sumber produksi (tanah) masyarakat Andulang.

Kapitalisasi agraria sungguh berdampak pada aspek sosial berupa perusakan tatanan sosio kultural dan retaknya kohesivitas sosial akibat konflik yang ditimbulkan. Jika melihat data Konsursium Pembaruan Agraria, tahun 2016 tercatat sekitar 450 konflik agraria. Angka ini meningkat dari tahun 2015 yang hanya 252 konflik. Bisa jadi, realitas konflik di Andulang termasuk di dalamnya. Orientasi yang hanya semata-mata nilai ekonomis dalam kapitalisasi agraria telah menerobos batas-batas sosial. Sebab itu, persoalan agraria menjadi amat krusial.

Konflik sosial agraria sebagai dampak dari kapitalisasi yang terjadi di Andulang merupakan bagian kecil dari problematik kapertanahan dewasa ini. Seperti fenomena gunung es, agraria sekarang menyimpan sejumlah persoalan lain bukan hanya menyangkut lingkungan alam dan sosial, melainkan juga masa depan pembangunan, tata ruang, bahkan juga peradaban. Potensi konflik dalam proses pembangunan vis a vis kapitalisasi agraria akan semakin besar mana kala seluruh elemen masyarakat terutama pemerintah tidak lekas menanggapinya.

Implementasi Land Reform
Sebagai sebuah ulasan, dalam tulisan ini penting penulis tekankan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi tentang Reforma Agraria (land reform) di tahun 2017 harus lebih massif dan efektif. Massif berarti menyentuh dan memprioritaskan daerah-daerah yang mengalami konflik. Efektif berarti bukan hanya mempertimbangkan keadilan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial seperti amanat Pancasila Sila ke-5.

Reforma agraria harus menjadi komitmen kuat pemerintah karena ia merupakan implementasi sekaligus amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN), pemerintah harus “berani” menyentuh daerah-daerah dengan lokasi “darurat tanah”.

Setelah rumusan dan draft perpres tentang reforma agraria disahkan, Kementerian ART/BPN bersama Presiden dalam implementasinya penting membuka partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat di daerah terdaftar agar tidak sepihak dalam pembangunan di bidang agraria ke depan. Mengingat konflik agraria dalam struktur sosial masyarakat terjadi begitu menyedihkan, maka keadilan di bidang agraria harus menjadi agenda prioritas pemerintah yang kelewat penting dan amat dibutuhkan.

Surabaya – Malang, 7-9 April 2017
Tulisan versi PDF-nya bisa dibaca dan download di sini



[1] Tulisan pengantar dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 14 April 2017 di Warung Kopi 69, Surabaya, jam 20:00 Wib.
Tulisan ini merupakan ulasan singkat dari hasil penelitian skripsi penulis berjudul: Agraria dalam Cengkeraman Kapitalisme: Potensi Konflik Struktural Penguasaan Tanah oleh Investor di Desa Andulang Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Naskah dalam bentuk soft file hasil riset ini dapat diunduh pada laman: http://digilib.uinsby.ac.id/15303/
[2] Sarjana Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial & Politik, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...