Oleh: Muhammad Mihrob[2]
Tulisan ini sebenarnya merupakan
ulasan singkat dari hasil riset yang penulis lakukan untuk tugas akhir
mahasiswa strata satu. Selain sebagai tanggung jawab akademis dan intelektual,
penulis rasa sangat penting membahas sekaligus mengulas tema ini sebagai
tanggung jawab sosial atas persoalan-persoalan kompleks agraria yang terjadi di
masyarakat. Meski lokus dan karakter sosial dalam riset ini adalah pada masyarakat
pedesaan yang guyub. Bukan hal mustahil persoalan serupa juga terjadi pada
lokus kota dengan dinamika sosialnya.
Proses kapitalisasi agraria sejak dua
tahun terakhir memang telah menjadi persoalan akut dan aktual. Kapitalisasi
agraria adalah suatu proses pengambilalihan fungsi tanah masyarakat oleh
investor untuk kepentingan pemupukan modal (capital
accumulation) melalui penanaman
modal (modal investment) dengan
memanfaatkan sumber daya manusia, alam, dan tekonologi. Dalam proses
kapitalisasi agraria ini muncul suatu kecenderungan akan adanya dampak kerusakan lingkungan berupa pencemaran,
abrasi, perusakan lahan bahkan
pelanggaran peraturan pemerintah.
Dalam konteks kapitalisasi agraria di
Sumenep, di mana sudah
lebih dari sekitar 500
hektar tanah dikuasai investor
hingga saat ini, memantik reaksi kritik dari sejumlah masyarakat. Reaksi kritik tersebut munguap karena selain terdapat kejanggalan-kejanggalan,
juga banyak menyalahi hukum
adat-istiadat setempat. Karena itu, sejak Juli 2016
ketika Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama Kab. Sumenep menggelar acara “Khalaqah Kedaulatan
Tanah”,
masyarakat (terutama pemuda)
Sumenep mulai gencar
melakukan audiensi dengan pemerintah daerah mengawal kebijakan tentang agraria.
Reaksi kritik masyarakat mengenai dampak kapitalisasi agraria itu juga terjadi di Desa Andulang Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Desa ini penulis jadikan lokasi penelitian karena realitas persoalan agraria di dalamnya bisa
dibilang unik. Tepatnya
di Dusun Laok Lorong
terdapat lahan seluas ±20
hektar yang sekarang telah dimiliki
oleh investor untuk kepentingan tambak udang. Sangat luas untuk ukuran tambak.
Uniknya, di tengah-tengah tambak tersebut terdapat lahan
seluas 1.455 m² milik seorang warga yang
tidak mau dijual kepada investor.
Dalam keadaan demikian, bukan hal
mustahil jika konflik mengemuka. Antara pemilik lahan dan pengusaha tambak
(termasuk pekerja di dalamnya) memiliki perbedaan kepentingan sehingga meretakkan ikatan emosional.
Realitas Konflik
Ralf
Dahrendorf (1929-2009) dalam buku
Class and Class Conflict in Industrial Society menjelaskan
mengenai masyarakat yang terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang
memiliki kewenangan (dominan) dan
kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). Di dalam struktur sosial
semacam ini terdapat perbedaan kepentingan pada masing-masing kelompok sosial
berdasarkan sebuah wewenang yang
menjadi tanggung jawab
individu atau nilai sosial yang
dianutnya. Perbedaan kepentingan
ini memiliki potensi kontradiktif yang akan terus berlangsung sebelum kemudian terjadi perubahan dalam struktur sosial. Apa yang
dimaksud Dahren dorf
sebagai “kepentingan”
ini (sebagaimana Margaret M. Polo manafsirkan), memiliki dua sisi yakni: kepentingan manifest (disadari) dan kepentingan
laten (tidak disadari).
Dalam
konteks kapitalisasi agraria di Andulang, lahirnya kelompok kepentingan ini
kemudian menjadi cikal-bakal timbulnya konflik dalam struktur sosial
masyarakat. Perbedaan kepentingan yang terlihat antara kelompok kepentingan
dengan kelompok penguasa-pengusaha dapat mengakibatkan konflik struktural.
Kepentingan pemerintah desa dalam mengembangkan perekonomian masyarakat di Andulang (meski cenderung partial dan temporal)
bekerjasama dengan investor/kapitalis yang memiliki kepentingan akumulasi modal
berdampak konflik dan ketegangan, baik itu konflik dengan kelompok masyarakat
yang tidak tunduk pada kekuasaan maupun dengan kelompok masyarakat yang
memiliki kepentingan untuk mempertahankan sumber produksi (tanah) masyarakat
Andulang.
Kapitalisasi agraria sungguh berdampak pada aspek sosial
berupa perusakan tatanan sosio kultural dan retaknya
kohesivitas sosial
akibat konflik yang
ditimbulkan. Jika melihat data Konsursium Pembaruan Agraria, tahun 2016 tercatat sekitar 450 konflik agraria. Angka ini meningkat dari tahun 2015 yang hanya 252 konflik. Bisa jadi, realitas konflik di Andulang termasuk di dalamnya. Orientasi yang hanya
semata-mata nilai ekonomis dalam kapitalisasi agraria telah menerobos batas-batas sosial. Sebab itu, persoalan agraria menjadi amat krusial.
Konflik sosial agraria sebagai dampak dari kapitalisasi yang terjadi di Andulang merupakan bagian kecil dari problematik kapertanahan dewasa ini. Seperti fenomena gunung es, agraria sekarang menyimpan sejumlah persoalan lain bukan hanya menyangkut lingkungan alam dan sosial, melainkan juga masa depan pembangunan, tata ruang, bahkan juga peradaban. Potensi konflik dalam proses pembangunan vis a vis kapitalisasi agraria akan semakin besar mana kala seluruh elemen masyarakat terutama pemerintah tidak lekas menanggapinya.
Implementasi Land Reform
Sebagai sebuah ulasan, dalam tulisan ini penting penulis tekankan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi tentang Reforma Agraria (land reform) di tahun 2017 harus lebih massif dan efektif. Massif berarti menyentuh dan memprioritaskan daerah-daerah yang mengalami konflik. Efektif berarti bukan hanya mempertimbangkan keadilan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial seperti amanat Pancasila Sila ke-5.
Reforma agraria harus menjadi komitmen kuat pemerintah karena ia merupakan implementasi sekaligus amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP
MPR RI), Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN),
pemerintah harus “berani” menyentuh daerah-daerah dengan lokasi “darurat tanah”.
Setelah rumusan dan draft perpres tentang reforma agraria disahkan, Kementerian
ART/BPN bersama Presiden dalam implementasinya penting membuka partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat di daerah terdaftar agar tidak sepihak dalam pembangunan di bidang agraria ke depan. Mengingat konflik agraria dalam struktur sosial masyarakat terjadi begitu menyedihkan, maka keadilan di bidang agraria harus menjadi agenda prioritas pemerintah yang kelewat penting dan amat dibutuhkan.
[1] Tulisan
pengantar dalam diskusi Indonesia Belajar
Institut (IBI), edisi Jumat, 14 April 2017 di Warung Kopi 69, Surabaya, jam
20:00 Wib.
Tulisan ini merupakan ulasan
singkat dari hasil penelitian
skripsi penulis berjudul: “Agraria dalam
Cengkeraman
Kapitalisme: Potensi
Konflik
Struktural
Penguasaan Tanah oleh Investor di Desa Andulang
Kecamatan
Gapura Kabupaten Sumenep”. Naskah dalam
bentuk soft file hasil riset ini dapat diunduh pada laman: http://digilib.uinsby.ac.id/15303/
[2] Sarjana
Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial & Politik, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...