Oleh: Robbah Munjidin Ahmada[2]
Indonesia adalah negara majemuk. Beragam suku, bahasa,
adat-tradisi-budaya, dan agama menjadi penyangga bangunan Indonesia. Para tokoh
bangsa telah memberikan teladan bagaimana cara hidup, bermasyarakat,
mengajarkan makna bersatu dalam keragaman. Sisi ideal sebagai sebuah bangsa,
seperti yang disebut di atas, kini mendapati tantangan dari berbagai pihak.
Sebagai indikator, munculnya konflik antar supporter sepakbola, konflik antar
suku, dan paling parah konflik agama, menjadi potret yang akhir-akhir ini bukanlah
hal asing untuk ditemui.
Robbah dan Chafid Wahyudi (Ketua MPII Jatim) |
Berpijak pada fakta ini, seolah sebutan Indonesia sebagai bangsa yang
ramah, toleran, menjadi gugur dengan sendirinya. Dalam hal ini Islam sebagai
agama mayoritas, memegang kunci penting akan keberlangsungan kehidupan sebagai
sebuah bangsa yang bernegara. Umat Islam tentu harus berada di garda terdepan
dalam rangka memberikan pemahaman, teladan, kerukunan, untuk menjadi saudara
dalam perbedaan.
Ungkapan latin lex agenda lex aselli, setiap zaman memiliki juru
bicaranya sendiri-sendiri menyiratkan pesan akan kenyataan kontestasi ide,
paradigma dan argumentasi yang saling bersaing agar ‘ditahbiskan’ menjadi pemenang
dari pertarungan zaman[3].
Ketika (misalnya) paradigma A dinilai negatif, maka harus ada paradigma B yang
menjadi ‘kontestan’ lain (dengan segenap penyangga yang kuat) untuk membendung
arus agar tidak menjalar.
Radikalisme
Islam
Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya radikalisme hampir ada di semua
agama di dunia[4].
Namun dalam hal ini, secara khusus radikalisme dalam tubuh Islam di Indonesia
yang akan dipotret lebih lanjut. Secara terminologis, tidak ada kesepakatan
baku di kalangan para akademisi terkait term radikalisme. Zada dalam Islam
Radikal memaparkan beragam istilah yang digunakan oleh para akademisi untuk
menggambarkan tipe keberagamaan seseorang atau kelompok yang sering dicitrakan
lekat dengan pemahaman tekstual, ekstrem, militan, rigid, dan kaku ini[5].
Robert W. Hefner menggunakan istilah Islam anti-liberal untuk
menggambarkan DDII dan KISDI. Abid al-Jabiri menggunakan term ekstremisme
Islam. Tipe Islam ini dalam pandangan al-Jabiri mengarahkan permusuhan dan
perlawanannya kepada gerakan Islam moderat (pada tataran syariah dengan melawan
madzhab-madzhab yang dianut oleh kalangan moderat). Adam Schwarz menggunakan
istilah Islam militan untuk menggambarkan DDII dan KISDI. Schwarz memberikan
ciri pada kelompok itu dengan tafsir atas hukum yang kaku, bersikap anti-Barat,
kritis terhadap etnik Cina dan umat kristen yang secara ekonomi lebih mapan
(daripada kelompok Islam militan).
Sementara Said Aqil Siradj memilih istilah radikalisme. Hal ini berpijak
pada pemaknaan “radikalisme” (syiddah at-tanatu) yakni bermakna keras,
eksklusif, berpikiran sempit, dan memonopoli kebenaran. Dalam pandangan Siradj
muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran kaku, sempit, bersifat
eksklusif dalam memandang agama lain[6].
Menurut hemat penulis, titik persinggungan antara beragam
penjelasan dapat dipayungi pada istilah radikal. Horace Kallen memberikan
kerangka bahwa radikalisasi paling tidak ditandai tiga kecenderungan umum.
Pertama, radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang
berlangsung. Respons ini bisa berbentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan
perlawanan. Kedua, radikalisasi tidak hanya pada ranah penolakan, tetapi terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ada
upaya untuk menggantikan tatanan lama dengan tatanan yang baru. Ketiga, adanya
keyakinan yang kuat akan kebenaran program dan ideologi yang dibawa. Akan
keyakinan yang kuat ini, tidak menutup kemungkinan lahir sikap emosional yang
menjurus pada kekerasan[7].
Gerakan
Literasi sebagai Upaya Deradikalisasi
Sebagai upaya untuk melakukan penangkalan terhadap radikalisme maka perlu
upaya deradikalisasi. Dalam hal ini penulis menawarkan solusi (upaya
deradikalisasi) melalui gerakan literasi. Kegiatan literasi lazimnya dimaknai
berkutat pada baca-tulis. Namun sebenarnya, literasi bermakna lebih dari itu,
sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Praha pada tahun 2003. Dalam deklarasi
tersebut menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang
berkomunikasi dengan masyarakat. Literasi, termasuk pula bermakna praktik dan
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya[8].
Lengkapnya dalam deklarasi dengan judul The Prague Declaration
“Toward an Information Literacy Society” tersebut tertulis[9]:
“Information
Literacy, in conjunction with access to essential information and effective use
of information and communication technologies, plays a leading role in reducing
the inequities within and among countries and peoples, and in promoting
tolerance and mutual understanding through information use in multicultural and
multilingual contexts”.
Jika ditilik, membaca adalah hal vital dari gerakan literasi. Teks
yang menjadi akar dari pemahaman seseorang baik itu teks kitab suci atau teks
yang lain akan diketengahkan, dan dikritisi bersama. Gerakan literasi adalah media dari upaya dekonstruksi. Sebagaimana dituturkan Derrida, teks merupakan suatu hal
yang vital. Bahwa melalui teks yang dibaca dapat diketahui (kembali)
makna-makna yang tersembunyi untuk kemudian lahir transformasi. Derrida dengan
dekonstruksinya menghendaki perubahan namun tidak serta merta membongkarnya,
dan mengganti dengan hal yang baru sama sekali.
Dekonstruksi tidak serta merta menafikan pemahaman yang sudah ada, tetapi
mencoba melahirkan pemahaman baru yang dapat menjadi alternatif[10].
Secara sederhana dapat disebut bahwa pemahaman kaku, tertutup yang selama ini bersemayam dalam diri seseorang,
akan dapat dikonstruksi menjadi pemahaman yang terbuka. Untuk membumikan apa
yang penulis sampaikan, contoh praktisnya sebagai berikut.
Dalam Ilusi Negara Islam ada dua pendapat dari dua aktivis yakni
aktivis Ikhwanul Muslimin dan aktivis MMI. Berikut pendapatnya.
Kalau ada orang Islam yang tidak sepakat dengan Khilafah, maka Islamnya
perlu dipertanyakan (Aktivis Ikhwanul Muslimin UGM)
[Di] dunia ini ada dua sistem, yaitu sistem cara Islam (Khilafah) dan
sistem cara kafir. Nah sistem kafir ini banyak sekali ada liberalisme,
kapitalisme, komunisme, dan di Indonesia ada sistem Pancasila (Aktivis MMI)[11]
Pendapat ini sangat mungkin didialogkan dengan referensi lain yang dapat
menjadi wacana pembanding. Umpama terkait khilafah. Pernyataan aktivis Ikhwanul
Muslimin dapat di-counter dengan Hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
(NU) tentang Khilafah dan Formalisasi Syariah. Bahtsul Masail tersebut
memutuskan bahwa tidak ada dalil nash yang mengharuskan pembakuan bentuk
khilafah dalam sistem kenegaraan Islam. Bahwa Khilafah adalah bentuk
ijtihadiyyah[12].
Atas hal ini maka Khilafah tidak dapat disangkut-pautkan dengan absah atau
tidaknya keIslaman seseorang.
Sementara Pancasila, dalam pandangan aktivis MMI adalah sistem kafir.
Pernyataan kafir ini dapat didialogkan. Sebagaimana dilansir Suara Muhammadiyah, pada Muktamar Muhammadiyah
ke-47 di Makassar, Agustus 2015, diputuskan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah Negara Pancasila. Sebuah negara yang ditegakkan di atas
falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan
Muhammadiyah, Pancasila merupakan darul ahdi (konsensus nasional) dan darus
syahadah (tempat pembuktian) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (darus
salam). Pancasila yang menjadi dasar negara bukanlah agama, namun
substansinya mengandung dan sejalan dengan ajaran Islam[13].
Sementara bagi
NU, hubungan Pancasila dan Islam telah ‘beres’ sejak tahun 1983. Tepatnya pada
Muktamar ke 27, dengan ditetapkannya Deklarasi tentang Hubungan Pancasila
dengan Islam. Pada poin pertama –dari lima poin- tertulis Pancasila sebagai
dasar dan falsafah negara bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan
tidak dapat dipergunakan menggantikan kedudukan agama. Bahkan pada poin keempat
tertulis bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila adalah perwujudan umat Islam
untuk menjalankan syariat agamanya[14]. Logika sederhananya adalah
semakin banyak seseorang membaca, akan semakin mendapat pemahaman. Akan
mendapat pemahaman yang lebih lagi, bila apa yang ia baca kemudian didialogkan,
didiskusikan. Gerakan literasi menawarkan hal tersebut.
Ibarat kata, –meminjam semboyan Wimar Witoelar– “Saya tidak mau mengubah
pendapat orang yang sudah punya pendirian, tapi mau berbagi perspektif pada
siapa saja, dalam suasana sejuk”[15].
Nampaknya semua sepakat, bahwa gerakan literasi menyajikan hal ini (baca:
perspektif lain). Sekali lagi, bahwa gerakan literasi dapat menjadi media untuk
mendekonstruksi pemahaman radikal, agar terlahir pemahaman yang terbuka. Inilah
komitmen pemuda dalam menangkal radikalisme.
Tulisan versi pdf-nya dapat di download di sini
[1] Akan didiskusikan di
forum diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 18 November 2016,
di Kedai Coffe, 300 meter ke selatan dari depan Kampus UIN Sunan Ampel. Tulisan
ini adalah ringkasan dari makalah berjudul “Gerakan Literasi Sebagai Upaya
Deradikalisasi di Kalangan Pemuda” yang memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah
(LKTI) se-Jawa Timur oleh Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) Jawa Timur pada
Oktober 2016. Naskah dimaksud, dapat dibaca di sini
[2] Mahasiswa semester akhir
di UIN Sunan Ampel. Pembelajar aktif di Bibliopolis Book Review Surabaya
[5]Khamami
Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta:Teraju,
2002), 13-15.
[8]Pangesti
Widarti, dkk, Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah (Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
2016), 7.
[9]Lihat The
Prague Declaration “Toward an Information Literacy Society” dalam http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CI/CI/pdf/PragueDeclaration.pdf
(Diakses pada 11 September 2016 pukul 19.08).
[10]Akhmad Riduwan, Metode Dekonstruksi Derrida dalam Riset Akuntansi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya dalam http://multiparadigma.lecture.ub.ac.id/files/2014/12/METODE-DEKONSTRUKSI-DERRIDA-Akhmad-Riduwan.pdf (Diakses 09 Oktober 2016 pukul 15.34)
[11]Abdurrahman
Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam (Jakarta: Wahid Institute, Maarif Institute,
2009), 161.
Saya tertarik dengan pemikiran bahwa literasi sebagai upaya deradikalisasi atau perang pemikiran melawan ide-ide radikal. Namun, saya tambahkan bahwa Ide berbagi pemikiran dengan orang "radikal" sepertinya sulit untuk dilaksanakan. Toh kita namakan mereka sebagai orang "radikal" karena mereka sudah menutup diri dari kebenaran lain diluar kaumnnya. Saya kira literasi yang dijabarkan penulis bukan sebagai upaya deradikaliasai, tetapi lebih cocok untuk sebagai upaya imunisasi terhadap orang-orang yang masih terbuka pemikirannya namun dibayang-bayangi pemikiran radikal disekitarnya. Ide literasi ini dapat mempertahankan kemajemukan, toleransi dan keharmonisan bangsa dengan terus menggaungkan semangat anti radikalisme.
BalasHapus