Oleh: Marlaf Sucipto
Saya hendak menuliskan hal lain yang tak tertulis oleh Ahmad Maskur dalam perjalanannya ke Jepang. Menuliskan hasil diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) yang semalam (30/9) dihelat.
Diskusi IBI, JUmat, 30 September 2016 di Kedai Coffe (KC) |
Tokyo sebagai
ibu kota Jepang, asumsi Ahmad Maskur (AM), awalnya dikira sama dengan Jakarta;
tingginya tingkat individualisme masyarakat, sumrawut, sampah di mana-mana,
tidak tertib lalu lintas, saling serobot. Ternyata, berdasarkan pengalaman AM
selama 10 hari di Jepang, berbanding terbalik dengan kondisi di Jakarta sebagai
ibu kota Indonesia.
Individualisme
memang ada, tapi tak separah Jakarta. Ketidaksumrawutan, ketertiban dalam
berlalu lintas, alias tiadanya tindakan saling serobot, tiadanya sampah yang
berserakahan dan tak menempati tempatnya, adalah sisi lain Jepang yang patut
kita tiru untuk dikembangkan di Indonesia. Singkatnya, tingkat apatisme
masyarakat Jepang sedemikian rendahnya.
Di kota Tokyo,
jelas AM, udaranya sejuk. Tak ada rumah atau bangunan yang kepemilikannya
bersifat pribadi. Hunian, hampir semuanya bermodel apartemen dan itu dikuasai
oleh pemerintah. Tata kotanya juga bagus. Lalu lintas diatur sedemikian rupa.
Mulai lalu lintas kendaraan bermotor, pesepeda, dan pejalan kaki, semuanya ada
jalur pendistriannya. Walaupun kendaraan bermotor di Jepang semacam telah
menjadi home industri, masyarakat Jepang dalam beraktifitas lebih banyak yang
memilih bersepeda dan berjalan kaki. Jaraknya, berpuluh-puluh meter. Toh misal
pun harus mengendarai kendaraan berbasis mesin, bukan kendaraan pribadi yang
dipilih, tapi kendaraan umum yang telah diatur dan difasilitasi oleh
pemerintah.
Kepedulian diri
atas kebersihan di Jepang, selain terjadi karena kesadaran, juga fasilitas
publik seperti tempat sampah, disediakan dengan baik. Sepanjang kota Tokyo,
sejauh AM melangkah dalam penelusurannya, tidak ditemui pedagang kaki lima di
pinggir jalan memenuhi pendistrian sebagaimana di Indonesia. Minuman ringan
bisa didapat di pinggir jalan yang model pembayarannya bersistem uang koin.
Untuk melepas penat dan menghilangkan dahaga misalnya, orang tinggal memasukkan
uang koin yang nilainya seharga minuman yang telah tertera.
Di Jepang,
telat dan sembarangan dalam bertindak adalah hal yang memalukan. Maka, bisa
dipastikan, tak ada program, atau agenda apa pun, yang mooolor-nya seperti di
Indonesia. Khusus orang yang tergesa-gesa supaya tidak telat atas setiap
program agendanya, jalur khusus orang terburu-buru di areal kereta bawah tanah,
tersedia dengan baik. Orang Jepang yang mobilitas hariannya rata-rata berjalan
kaki, mereka begitu gesit dan cepat dalam melangkahkan kaki.
Sebagai
masyarakat pekerja yang tingkat produktifitasnya tinggi, ekonomi masyarakat
Jepang bisa digolongkan telah terbagi secara merata. Dari pengamatan AM, mulai
sejak ia ada di Tokyo sampai di Nagasaki, Tidak ditemui orang kaya dan orang
miskin yang begitu mencolok. Kebiasaan santai kongkow, sebagaimana yang kita
miliki di Indonesia, tak ditemui di Jepang.
Di Nagasaki,
sebagai daerah yang dalam sejarah tercatat sebagai kawasan yang di-bom atom,
banyak ditemui rumah-rumah tradisional masyarakat Jepang. Kawasan ini subur.
Bahkan, jeruk berwarna orange yang kita nikmati di Indonesia, diimpor dari
Jepang. Hal ini diperteguh oleh pengalaman AM saat metik langsung buah itu dari
kebun warga di Nagasaki, sembari mendapatkan penjelasan dari warga setempat.
Sejarah di
Jepang, termasuk hal ikhwal mengenai bom atom di Nagasaki, didasarkan atas
mereka yang mengalami langsung. Bukan oleh orang lain, atau tim yang dibentuk
untuk menarasikan sebuah sejarah. Jadi, singgung AM, sejarah di Jepang itu, tak
ada istilah versi pemerintah dan versi warga sebagaimana terjadi di Indonesia.
Di tingkat
pejabat publik, taruhlah seperti DPR di Indonesia, penampilannya sederhana dan
jauh dari kesan elitis ala pejabat publik di Indonesia. Mengenai ini, dialami
sendiri oleh AM karena ia selama di Nagasaki, ditempatkan di rumah salah
seorang pejabat publik di sana. Berkebun, metik sendiri sayur-mayur dari kebun,
bersih-bersih rumah, dan hal lain yang di Indonesia dikerjakan oleh staft atau
pembantu, di sana dikerjakan sendiri tanpa campur tangan orang lain oleh
pejabat dimaksud.
Agama di
Jepang, menjadi persoalan yang begitu privasi. Tidak lumrah membicarakan agama
di Jepang. Karena privasi, orang Jepang ketika ditanyai agama, apalagi oleh
orang asing, yang sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah tahu dan mengenalinya,
maka mereka akan memilih diam, bahkan bisa jadi mereka akan tersinggung.
Karena agama
sudah sangat privasi, ritus keagamaaan, tidak diparadekan, tidak ditonjolkan
sedemikian mencoloknya sebagaimana di Indonesia. Tapi, tindakan mereka, bila
dibandingkan dengan Indonesia, tegas AM, jauh lebih islami ketimbang masyarakat
Indonesia yang pola keberagamaan Islam-nya masih sekedar berbasis ritual.
Ritual dikedapankan, tapi pesan substansi agama kerap diabaikan.
Di Jepang,
orang yang bisa berbahasa Inggris tidak banyak. Bahkan, di Universitas
Nagasaki, bahasa Inggris tidak diprioritaskan. Setelah ditanya oleh AM kepada
salah satu akademisi di sana, "mengapa?", "karena kita mampu
mewarnai dunia. Produk kemajuan global banyak diimpor dari Jepang. Mestinya,
merekalah yang harus belajar bahasa Jepang".
Tingkat
sopan-santunya orang Jepang begitu tinggi. Di Nagasaki, kebiasaan orang
membungkuk tatkala berjumpa di jalan dengan orang yang lebih tua masih cukup
tinggi. Bahkan, untuk melakukan foto-foto sekalipun, harus minta izin terlebih
dahulu kepada yang menguasai objek yang akan difoto. Tidak bisa sembarangan
cekrak-cekrek memfoto.
Program yang
diikuti oleh AM ini, didanai oleh pemerintah Jepang di bawah penyelenggara
bernama Jenesys. Program yang sifatnya undangan ini, mengundang perwakilan
muda-mudi se-Asia, untuk mengenalkan Jepang atas mareka.
Memang, sebagai
catatan akhir dalam tulisan ini, kita tak bisa menggenaralisasi masyarakat
Jepang hanya dengan memotretnya dari Kota Tokyo dan Nagasaki. Sama dengan
Indonesia, kita tak baik memotret Indonesia, hanya melihat dari yang ada dan
terjadi di Jakarta. Ada sisi lain yang tak ter-cover, mengenai Jepang dan
Indonesia sebagaimana yang saya tulis.
Tujuan hadirnya
tulisan ini, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari tata sosial masyarakat
Jepang yang kita anggap baik. Kemudian kita duplikasi sejauh yang kita bisa,
untuk memperbaiki tata sosial masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak baik.
Tentu dalam hal ini, akan efektif bila berbasis keteladanan; kebiasaan yang
dirintis agar membentuk sebuah kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...