Sabtu, 01 Oktober 2016

Jepang dan Kedisiplinan Masyarakatnya

Oleh: Marlaf Sucipto

Saya hendak menuliskan hal lain yang tak tertulis oleh Ahmad Maskur dalam perjalanannya ke Jepang. Menuliskan hasil diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) yang semalam (30/9) dihelat.

Diskusi IBI, JUmat, 30 September 2016 di Kedai Coffe (KC)
Tokyo sebagai ibu kota Jepang, asumsi Ahmad Maskur (AM), awalnya dikira sama dengan Jakarta; tingginya tingkat individualisme masyarakat, sumrawut, sampah di mana-mana, tidak tertib lalu lintas, saling serobot. Ternyata, berdasarkan pengalaman AM selama 10 hari di Jepang, berbanding terbalik dengan kondisi di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.


Individualisme memang ada, tapi tak separah Jakarta. Ketidaksumrawutan, ketertiban dalam berlalu lintas, alias tiadanya tindakan saling serobot, tiadanya sampah yang berserakahan dan tak menempati tempatnya, adalah sisi lain Jepang yang patut kita tiru untuk dikembangkan di Indonesia. Singkatnya, tingkat apatisme masyarakat Jepang sedemikian rendahnya.

Di kota Tokyo, jelas AM, udaranya sejuk. Tak ada rumah atau bangunan yang kepemilikannya bersifat pribadi. Hunian, hampir semuanya bermodel apartemen dan itu dikuasai oleh pemerintah. Tata kotanya juga bagus. Lalu lintas diatur sedemikian rupa. Mulai lalu lintas kendaraan bermotor, pesepeda, dan pejalan kaki, semuanya ada jalur pendistriannya. Walaupun kendaraan bermotor di Jepang semacam telah menjadi home industri, masyarakat Jepang dalam beraktifitas lebih banyak yang memilih bersepeda dan berjalan kaki. Jaraknya, berpuluh-puluh meter. Toh misal pun harus mengendarai kendaraan berbasis mesin, bukan kendaraan pribadi yang dipilih, tapi kendaraan umum yang telah diatur dan difasilitasi oleh pemerintah.

Kepedulian diri atas kebersihan di Jepang, selain terjadi karena kesadaran, juga fasilitas publik seperti tempat sampah, disediakan dengan baik. Sepanjang kota Tokyo, sejauh AM melangkah dalam penelusurannya, tidak ditemui pedagang kaki lima di pinggir jalan memenuhi pendistrian sebagaimana di Indonesia. Minuman ringan bisa didapat di pinggir jalan yang model pembayarannya bersistem uang koin. Untuk melepas penat dan menghilangkan dahaga misalnya, orang tinggal memasukkan uang koin yang nilainya seharga minuman yang telah tertera.

Di Jepang, telat dan sembarangan dalam bertindak adalah hal yang memalukan. Maka, bisa dipastikan, tak ada program, atau agenda apa pun, yang mooolor-nya seperti di Indonesia. Khusus orang yang tergesa-gesa supaya tidak telat atas setiap program agendanya, jalur khusus orang terburu-buru di areal kereta bawah tanah, tersedia dengan baik. Orang Jepang yang mobilitas hariannya rata-rata berjalan kaki, mereka begitu gesit dan cepat dalam melangkahkan kaki.

Sebagai masyarakat pekerja yang tingkat produktifitasnya tinggi, ekonomi masyarakat Jepang bisa digolongkan telah terbagi secara merata. Dari pengamatan AM, mulai sejak ia ada di Tokyo sampai di Nagasaki, Tidak ditemui orang kaya dan orang miskin yang begitu mencolok. Kebiasaan santai kongkow, sebagaimana yang kita miliki di Indonesia, tak ditemui di Jepang.

Di Nagasaki, sebagai daerah yang dalam sejarah tercatat sebagai kawasan yang di-bom atom, banyak ditemui rumah-rumah tradisional masyarakat Jepang. Kawasan ini subur. Bahkan, jeruk berwarna orange yang kita nikmati di Indonesia, diimpor dari Jepang. Hal ini diperteguh oleh pengalaman AM saat metik langsung buah itu dari kebun warga di Nagasaki, sembari mendapatkan penjelasan dari warga setempat.

Sejarah di Jepang, termasuk hal ikhwal mengenai bom atom di Nagasaki, didasarkan atas mereka yang mengalami langsung. Bukan oleh orang lain, atau tim yang dibentuk untuk menarasikan sebuah sejarah. Jadi, singgung AM, sejarah di Jepang itu, tak ada istilah versi pemerintah dan versi warga sebagaimana terjadi di Indonesia.

Di tingkat pejabat publik, taruhlah seperti DPR di Indonesia, penampilannya sederhana dan jauh dari kesan elitis ala pejabat publik di Indonesia. Mengenai ini, dialami sendiri oleh AM karena ia selama di Nagasaki, ditempatkan di rumah salah seorang pejabat publik di sana. Berkebun, metik sendiri sayur-mayur dari kebun, bersih-bersih rumah, dan hal lain yang di Indonesia dikerjakan oleh staft atau pembantu, di sana dikerjakan sendiri tanpa campur tangan orang lain oleh pejabat dimaksud.

Agama di Jepang, menjadi persoalan yang begitu privasi. Tidak lumrah membicarakan agama di Jepang. Karena privasi, orang Jepang ketika ditanyai agama, apalagi oleh orang asing, yang sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah tahu dan mengenalinya, maka mereka akan memilih diam, bahkan bisa jadi mereka akan tersinggung.

Karena agama sudah sangat privasi, ritus keagamaaan, tidak diparadekan, tidak ditonjolkan sedemikian mencoloknya sebagaimana di Indonesia. Tapi, tindakan mereka, bila dibandingkan dengan Indonesia, tegas AM, jauh lebih islami ketimbang masyarakat Indonesia yang pola keberagamaan Islam-nya masih sekedar berbasis ritual. Ritual dikedapankan, tapi pesan substansi agama kerap diabaikan.

Di Jepang, orang yang bisa berbahasa Inggris tidak banyak. Bahkan, di Universitas Nagasaki, bahasa Inggris tidak diprioritaskan. Setelah ditanya oleh AM kepada salah satu akademisi di sana, "mengapa?", "karena kita mampu mewarnai dunia. Produk kemajuan global banyak diimpor dari Jepang. Mestinya, merekalah yang harus belajar bahasa Jepang".

Tingkat sopan-santunya orang Jepang begitu tinggi. Di Nagasaki, kebiasaan orang membungkuk tatkala berjumpa di jalan dengan orang yang lebih tua masih cukup tinggi. Bahkan, untuk melakukan foto-foto sekalipun, harus minta izin terlebih dahulu kepada yang menguasai objek yang akan difoto. Tidak bisa sembarangan cekrak-cekrek memfoto.

Program yang diikuti oleh AM ini, didanai oleh pemerintah Jepang di bawah penyelenggara bernama Jenesys. Program yang sifatnya undangan ini, mengundang perwakilan muda-mudi se-Asia, untuk mengenalkan Jepang atas mareka.

Memang, sebagai catatan akhir dalam tulisan ini, kita tak bisa menggenaralisasi masyarakat Jepang hanya dengan memotretnya dari Kota Tokyo dan Nagasaki. Sama dengan Indonesia, kita tak baik memotret Indonesia, hanya melihat dari yang ada dan terjadi di Jakarta. Ada sisi lain yang tak ter-cover, mengenai Jepang dan Indonesia sebagaimana yang saya tulis.


Tujuan hadirnya tulisan ini, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari tata sosial masyarakat Jepang yang kita anggap baik. Kemudian kita duplikasi sejauh yang kita bisa, untuk memperbaiki tata sosial masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak baik. Tentu dalam hal ini, akan efektif bila berbasis keteladanan; kebiasaan yang dirintis agar membentuk sebuah kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...