Jumat, 28 Oktober 2016

Demokratisasi Pencalonan Anggota Partai Politik Dalam Pemilu[1]

Oleh: Masduri[2]
 Sejak kehadiran Reformasi 1998, kita menemukan momentum menegakkan demokrasi sebagai jalan bersama membangun bangsa yang lebih beradab. Reformasi telah memberikan angin segar bagi segenap kebebasan yang sebelumnya terkekang oleh otoritarianisme rezim Orde Baru.[3] Salah satu dampak paling nyata dari bangunan sistem demokrasi pasca reformasi adalah terbukanya kesempatan bagi semua rakyat Indonesia untuk mendirikan partai politik. Sehingga pada Pemilu 1999 setelah reformasi, ada 48 partai politik yang ikut dalam kontestasi tersebut.[4]

Tentu saja berbeda dengan sebelumnya ketika masa Orde Baru, setelah mengalami perjalanan yang sangat ribet, serta pasang-surut partai politik yang tidak sederhana, akhirnya Orde Baru mengukuhkan tiga partai besar sebagai partai politik yang terus secara berkelanjutan menjadi peserta Pemilu, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[5] Terbatasnya akses kehadiran partai politik baru dalam Pemilu, tentu saja memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi iklim demokrasi di negara kita waktu itu.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Jepang dan Kedisiplinan Masyarakatnya

Oleh: Marlaf Sucipto

Saya hendak menuliskan hal lain yang tak tertulis oleh Ahmad Maskur dalam perjalanannya ke Jepang. Menuliskan hasil diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) yang semalam (30/9) dihelat.

Diskusi IBI, JUmat, 30 September 2016 di Kedai Coffe (KC)
Tokyo sebagai ibu kota Jepang, asumsi Ahmad Maskur (AM), awalnya dikira sama dengan Jakarta; tingginya tingkat individualisme masyarakat, sumrawut, sampah di mana-mana, tidak tertib lalu lintas, saling serobot. Ternyata, berdasarkan pengalaman AM selama 10 hari di Jepang, berbanding terbalik dengan kondisi di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.