Senin, 08 Agustus 2016

Quo Vadis Tayangan Televisi Indonesia

(Refleksi sesaat setelah diskusi IBI edisi Jumat, 5 Agustus 2016)

Oleh: Marlaf Sucipto

Televisi sebagai media massa, memiliki fungsi: informatif, hiburan, dan alat kontrol sosial. Tapi yang dominan, justru dalam hal hiburan, itu pun rata-rata, tontonan itu tidak layak dan tidak baik dijadikan tuntunan. Layak, saya menggukurnya dari tiadanya penjelasan, spesifikasi tontonan itu untuk siapa. Anak-anak, remaja, dan dewasa. Sedangkan ketidakbaikan tontonan itu, saya mengukurnya dari konten tayangan yang ada, selain iklan yang menjejali alam bawah sadar agar berprilaku konsumeristik, juga konten tayangan seperti sinetron, yang rata-rata menyajikan kegemilangan di atas kemalasan. Seakan, kehadiran sinetron, turut memperteguh gaya hidup glomour, tampil tidak apa adanya, dan menjadikan manusia Indonesia untuk memusat ke Jakarta. Seakan, Jakarta menawarkan kesejahteraan hidup sebagaimana yang ditayangkan oleh, rata-rata, sinetron-sinetron televisi itu.
Fungsi televisi sebagai media informasi, yang menyajikan pemberitaan berbasis fakta dan data, rata-rata dimonopoli hanya untuk memperteguh kuasa kapital, seperti pemberitaan kehidupan artis, dan pencitraan para penguasa media dalam plan maupun keperperanannya dalam konstelasi politik, hukum, ekonomi, dan hal lainnya di republik. Informasi sehat yang berkeadilan, pemberitaan yang tak memusat atas para penguasa kapital, adanya, hanya dalam jumlah yang sangat terbatas.

Nah, televisi sebagai kontrol sosial pun, hanya ada di stasiun-stasiun TV tertentu. Juga dalam jumlah yang sangat terbatas.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang memiliki tugas dan fungsi mengawasi atas setiap tayangan, siaran TV dan radio, keberadaannya seperti tidak adanya. Mandul dan tak bisa berbuat banyak dalam menindak tayangan-tanyangan yang tidak edukatif.

Apalagi, sebagaimana telah dipertegas oleh Mas Roy Taniago, kepempinan KPI dalam lima tahun ke depan, diisi oleh segerombolan "dinosaurus". Maksudnya barangkali, kepemimpinan KPI yang bersifat kolektif kolegial itu, diisi, rata-rata, oleh orang yang tidak faham media.

Menurut Mas Muhammad Shofa, bau kolusi dalam penentuan kepemimpinan di KPI, sudah tercium sejak seleksi di Panitia Pelaksana (Pansel) dihelat. Seleksi berdasarkan kedekatan "konco", rekomendasi dari orang yang memiliki kuasa harta dan tahta, terus berlanjut sampai orang-orang yang dipilih oleh Pansel ini, yang jumlahnya mencapai 27 orang, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di bawah komisi yang menaungi KPI. 7 yang dipilih oleh DPR itu, mayoritas adalah mereka yang, selain tidak terlalu faham media, juga idealismenya telah terkondisi sesuai kepentingan mereka yang membawa.

Televisi sebagai salah satu media, dalam perjalanan sejarah republik ini berdiri, terus memiliki ritme dan penyesuaian tersendiri. Rata-rata, bergantung pada kuasa harta dan tahta.

Menurut Cak Badri Amien, yang kala itu juga hadir sebagai peserta diskusi, pada masa pra kemerdekaan sampai Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, pers menjadi alat perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pertarungannya sangat sengit antara pers yang pro ideologi "kiri" maupun pers yang pro ideologi "kanan". Karena kala itu, Indonesia masih dalam pencarian bentuk ideologi bernegara.

Memasuki Orde Baru, pers dikondisikan oleh kuasa tahta di bawah Presiden Soeharto. muatannya terus dikondisikan pro terhadap agenda "pembangunan". Bila tidak, di-bredel. Pers yang memuat agenda perjuangan, gerakannya bergerak dalam senyap dengan istilah yang biasa dikenal dengan sebutan gerakan bawah tanah.

Memang, cara dalam membangun republik, pemerintahan Soeharto sambil menginjak-injak harkat dan martabat rakyat Indonesia; yang tidak pro terhadap apa yang dikehendaki pemerintahan ini, ditumpas habis, malah sebagian besar, ada yang dibabat sampai ke akar-akarnya.

Reformasi, adalah pintu awal kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan ini tak terbendung. Hal ikhwal yang awalnya tertahan, kemudian meledak seiring dengan tumbangnya kepemimpinan otoriter Soeharto. Terus. Perkembangan pers Indonesia sampai menemukan bentuk seperti saat ini; kegiatan pers berkhidmat di bawah kuasa kapital.

Hal ini memang tak bisa ditepis, sesaat setelah republik ini secara deklaratif dan terang-terangan, dikelola dengan cara-cara pasar; segalanya digantungkan atas kuasa kapital.

Mengakhiri diskusi ini, kungklusi diskusi yang kami helat, melahirkan kesepahaman, bahwa dalam meminimalisir dampak negatif tayangan televisi, dan gerakan pers yang tak berkeadilan, maka, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dlsb, kita jadikan sebagai media pencerahan untuk berbagi, mendemonstrasikan tindakan protektif, guna membangun kesadaran kolektif, untuk memproteksi setiap tayangan dan siaran yang kurang dan tidak mendidik.

Adanya media sosial, akan turut membantu, dalam mempercepat kedewasaan kita dalam berdemokrasi di republik yang kita huni ini.

"Kebenaran ontologi dan epistemologi, akan diuji oleh kebenaran aksiologi," begitu pernyataan Mas Muhammad Shofa dalam kapasitasnya sebagai pembicara utama, saat mengakhiri sesi diskusi di Indonesia Belajar Institut (IBI) Jumat (5/8) lalu.

Jadi, mari dalam belajar, ada upaya kongkrit dalam mewujudkan hasil pembelajaran itu.

Salam
Apartemen Slamet Indah, 8 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...