(Refleksi sesaat
setelah diskusi IBI edisi Jumat, 5 Agustus 2016)
Oleh: Marlaf Sucipto
Oleh: Marlaf Sucipto
Televisi sebagai media massa, memiliki fungsi: informatif, hiburan, dan alat kontrol sosial. Tapi yang dominan, justru dalam hal hiburan, itu pun rata-rata, tontonan itu tidak layak dan tidak baik dijadikan tuntunan. Layak, saya menggukurnya dari tiadanya penjelasan, spesifikasi tontonan itu untuk siapa. Anak-anak, remaja, dan dewasa. Sedangkan ketidakbaikan tontonan itu, saya mengukurnya dari konten tayangan yang ada, selain iklan yang menjejali alam bawah sadar agar berprilaku konsumeristik, juga konten tayangan seperti sinetron, yang rata-rata menyajikan kegemilangan di atas kemalasan. Seakan, kehadiran sinetron, turut memperteguh gaya hidup glomour, tampil tidak apa adanya, dan menjadikan manusia Indonesia untuk memusat ke Jakarta. Seakan, Jakarta menawarkan kesejahteraan hidup sebagaimana yang ditayangkan oleh, rata-rata, sinetron-sinetron televisi itu.
Fungsi televisi sebagai media informasi, yang menyajikan
pemberitaan berbasis fakta dan data, rata-rata dimonopoli hanya untuk
memperteguh kuasa kapital, seperti pemberitaan kehidupan artis, dan pencitraan
para penguasa media dalam plan maupun keperperanannya dalam konstelasi
politik, hukum, ekonomi, dan hal lainnya di republik. Informasi sehat yang
berkeadilan, pemberitaan yang tak memusat atas para penguasa kapital, adanya,
hanya dalam jumlah yang sangat terbatas.
Nah, televisi sebagai kontrol sosial pun, hanya ada di
stasiun-stasiun TV tertentu. Juga dalam jumlah yang sangat terbatas.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang memiliki tugas dan
fungsi mengawasi atas setiap tayangan, siaran TV dan radio, keberadaannya
seperti tidak adanya. Mandul dan tak bisa berbuat banyak dalam menindak
tayangan-tanyangan yang tidak edukatif.
Apalagi, sebagaimana telah dipertegas oleh Mas Roy Taniago,
kepempinan KPI dalam lima tahun ke depan, diisi oleh segerombolan
"dinosaurus". Maksudnya barangkali, kepemimpinan KPI yang bersifat
kolektif kolegial itu, diisi, rata-rata, oleh orang yang tidak faham media.
Menurut Mas Muhammad Shofa, bau kolusi dalam penentuan
kepemimpinan di KPI, sudah tercium sejak seleksi di Panitia Pelaksana (Pansel)
dihelat. Seleksi berdasarkan kedekatan "konco", rekomendasi
dari orang yang memiliki kuasa harta dan tahta, terus berlanjut sampai
orang-orang yang dipilih oleh Pansel ini, yang jumlahnya mencapai 27 orang,
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di bawah komisi yang menaungi KPI.
7 yang dipilih oleh DPR itu, mayoritas adalah mereka yang, selain tidak terlalu
faham media, juga idealismenya telah terkondisi sesuai kepentingan mereka yang
membawa.
Televisi sebagai salah satu media, dalam perjalanan sejarah
republik ini berdiri, terus memiliki ritme dan penyesuaian tersendiri.
Rata-rata, bergantung pada kuasa harta dan tahta.
Menurut Cak Badri Amien, yang kala itu juga hadir sebagai
peserta diskusi, pada masa pra kemerdekaan sampai Orde Lama di bawah
kepemimpinan Soekarno, pers menjadi alat perjuangan dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Pertarungannya sangat sengit antara pers yang pro ideologi
"kiri" maupun pers yang pro ideologi "kanan". Karena
kala itu, Indonesia masih dalam pencarian bentuk ideologi bernegara.
Memasuki Orde Baru, pers dikondisikan oleh kuasa
tahta di bawah Presiden Soeharto. muatannya terus dikondisikan pro terhadap
agenda "pembangunan". Bila tidak, di-bredel. Pers yang memuat
agenda perjuangan, gerakannya bergerak dalam senyap dengan istilah yang biasa
dikenal dengan sebutan gerakan bawah tanah.
Memang, cara dalam membangun republik, pemerintahan Soeharto
sambil menginjak-injak harkat dan martabat rakyat Indonesia; yang tidak pro
terhadap apa yang dikehendaki pemerintahan ini, ditumpas habis, malah sebagian
besar, ada yang dibabat sampai ke akar-akarnya.
Reformasi, adalah pintu awal kebebasan pers di
Indonesia. Kebebasan ini tak terbendung. Hal ikhwal yang awalnya tertahan,
kemudian meledak seiring dengan tumbangnya kepemimpinan otoriter Soeharto.
Terus. Perkembangan pers Indonesia sampai menemukan bentuk seperti saat
ini; kegiatan pers berkhidmat di bawah kuasa kapital.
Hal ini memang tak bisa ditepis, sesaat setelah republik ini
secara deklaratif dan terang-terangan, dikelola dengan cara-cara pasar;
segalanya digantungkan atas kuasa kapital.
Mengakhiri diskusi ini, kungklusi diskusi yang kami helat,
melahirkan kesepahaman, bahwa dalam meminimalisir dampak negatif tayangan
televisi, dan gerakan pers yang tak berkeadilan, maka, media sosial
seperti Facebook, Twitter, Instagram, dlsb, kita jadikan sebagai media
pencerahan untuk berbagi, mendemonstrasikan tindakan protektif, guna membangun
kesadaran kolektif, untuk memproteksi setiap tayangan dan siaran yang kurang
dan tidak mendidik.
Adanya media sosial, akan turut membantu, dalam mempercepat
kedewasaan kita dalam berdemokrasi di republik yang kita huni ini.
"Kebenaran ontologi dan epistemologi, akan diuji oleh
kebenaran aksiologi," begitu pernyataan Mas Muhammad Shofa dalam
kapasitasnya sebagai pembicara utama, saat mengakhiri sesi diskusi di Indonesia
Belajar Institut (IBI) Jumat (5/8) lalu.
Jadi, mari dalam belajar, ada upaya kongkrit dalam
mewujudkan hasil pembelajaran itu.
Salam
Apartemen Slamet Indah, 8 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...