Dalam suatu
meteri yang diperbincangkan tentang substansi hukum, tentu banyak pemahaman
yang berbeda dalam mengartikan apa yang menjadi
isi sebenarnya dari hukum itu sendiri. Bahwa, sebagian pelaku hukum
mengartikan hukum secara parsial semata, di mana hukum hanya dipandang sebagai
hukum normatif saja yang menafikan dari sisi falsafah dan sosiologis. Sehingga
hukum tersebut menjadi hukum yang memihak kepada mereka yang cenderung
politis. Secara faktual tidak bisa
dipungkiri terdapat resistensi terhadap produk-produk hukum, sehingga
keberlakuannya secara empiris tidak bekerja secara maksimal dan jelas bukan merupakan
produk hukum yang baik.
Dalam sudut
pandang falsafati, hukum jelas dibuat
untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi bangsa dan negara. Maka dari
itu, apa yang telah terjadi di Indonesia sangat perlu kritik yang mendalam.
Dalam perkembangan hukum era kini tentu
kiranya masih banyak praktik-praktik hukum yang carut-marut dengan dalih
pembenaran, bukan demi kebenaran secara universal yang mengakibatkan citra
hukum di Indonesia menjadi hukum induvidualistik, dan tak jarang juga dalam
panggung hukum Indonesia terdapat ketidakadialan yang merampas hak-hak
masyarakat yang notabene rakyak kecil
yang terus termarjinalkan.
Terbukti bahwa,
hukum positif yang berlaku di Indonesia memiliki sistem aturan yang sedemikian
luas dan rumit. Di mana terdapat beberapa unsur aturan-aturan yang bertautan
dengan aturan lain, saling mengisi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu,
satu aturan tidak bisa dijadikan dalil penguat bila tidak disandingkan dengan
aturan lain. Bahkan, hukum tersebut akan berubah dalam ranah jurisprudensi
sebagai pertimbangan hakim dalam proses pemeriksaan.
Sebagaimana
yang telah diinformasikan dari beberapa media tentang kasus hukum yang begitu
kompleks, merupakan bukti yang menggambarkan masih sulitnya (secara relatif)
keadilan bagi masyarakat banyak untuk dipenuhi oleh hukum Indonesia. Hal ini
jelas, merupakan suatu permasalahan yang cukup serius dalam ruang pembangunan
hukum Indonesia, yang sekaligus merupakan permasalahan dalam sistem hukum
Indonesia yang mengadopsi civil law
system sebagai sistem hukum warisan kolonial.
Indonesia pada
hakikatnya disebut demikian karena secara fakta, eksistensinya kini makin
dilupakan dan meninggalkan sistem hukumnya sendiri yang telah lama ada sebelum
kolonial. Dengan transplantasi hukum, hadirnya Indonesia karena sistem hukum
adat dengan karaktereristiknya yang khas. Persoalan-persoalan dalam pembangunan
hukum Indonesia yang di antaranya, sebagai bagian dari persoalan sistem hukum
hasil adopsi sivil law system. Inilah
yang akan ditelaah dan dianalisis dalam ruang lingkup kemampuan hukum adat
sebagai sistem hukum asli (Indegenous Law System) Indonesia dalam
menghadapi dan mengatasi probematika pembangunan hukum Indonesia.
Sepanjang
sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara, antara lain, Belanda,
Inggris dan Jepang. Negara-negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk
menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah jajahan. Sementara masyarakat
yang terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri. Hukum di Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama dan hukum adat.
Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda. Karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Disebut hukum
agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi
hukum atau syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang
ada di wilayah Nusantara.
Maka dari itu,
sebelum masa kolonealisme hadir, bumi Nusantara bukanlah wilayah sosiologis
yang hampa hukum. Di berbagai wilayah di Nusantara ini telah terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat
yang teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat tradisional
dan dipercaya secara turun temurun.
Sebagaimana
telah dijabarkan bahwa dalam civil law
system menjadikan hukum yang sulit dihindari ketika suatu hukum telah
dipositifkan dalam bentuk perundang-undangan, di mana hukum yang diadopsi oleh
Indonesia ini masih terdapat pokok-pokok konsep yang masih memiliki
problematika di dalamnya memicu munculnya masalah dalam ruang tata hukum
Indonesia.
Oleh karena
itu, tidak selamanya memandang hukum
secara normatif semata, melainkan juga harus mempertimbangkan dari sudut
pandang filsafat serta dari sapek sosial. Yang kemudian, dalam teori hukum
progresif menurut Prof. Satjipto Raharjo, S.H. menyatakan bahwa, proses
perubahan atau perkembangan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada
kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang
tepat.
Para pelaku
hukum yang dimaksud dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peratuaran buruk
tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi baru setiap kali
terhadap suatu peratuaran. Untuk itu, agar hukum dirasa manfaat maka perlu jasa
ahli hukum yang kreatif menterjemahkan hukum dalam kepentingan sosial. Keberadaan
masyarakat adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
terbentuk dan secara faktual telah mendapat pengakuan pada era pemerintah
kolonial Belanda.
Berangkat dari
konsep hukum progresif yang diteorikan oleh Prof. Satjipto Raharjo, S.H., nampaknya
ada kesamaan dari konsep Gustav Radbruch, sebagai salah seorang legal scholar dari Jerman yang
terkemuka. Mengemukakan tujuan hukum yang terdiri dari tiga hal: kepastian,
keadilan dan kemanfaatan. Pada awalnya, ia menyatakan bahwa tujuan kepastian
menempati peringkat paling atas di antara tujuan yang lain. Namun setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi
melegalisasi praktik-praktik yang tidak berprikemanusiaan selama masa perang
dunia II.
Dengan jalan
membuat hukum yang mengesahkan praktik-praktik kekejaman perang pada masa itu,
Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan
tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa,
keadilan merupakan tujuan hukum yang utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat
atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa, hukum dibuat untuk menciptakan
ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Sehingga
pula dapat mempertahankan nilai-nilai
dan moral masyarakat sepanjang kita bisa
mengaktualisasi, serta kreatifitas akal budi dalam mengartikan dan
melaksanakan hukum secara baik dan bijaksana.
Maka kemudian,
telaah dari konsep tokoh di atas perlunya pembaharuan serta pengembangan hukum.
Sementara ini, paling tidak ada beberapa proyeksi sebagai objek pembangunan
hukum di antaranya adalah substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Substansi Hukum
Substansi hukum
terwujud dari isi peraturan perundang-undangan serta subsistem undang-undang.
Hal ini yang menjadi dasar terciptanya hukum positif yang dilakoni oleh para legislatif sebagai legislasi pembentukan
undang-undang. Namun kiranya perlu telaah metodologi dari terbentuknya
undang-undang tersebut, karena kerapkali terbentuknya undang-undang sebagai
kepentingan politik. Karena tidak bisa dipungkiri terdapat otorisasi terhadap
produk-produk hukum sehingga keberlakuannya secara empiris tidak bekerja secara
maksimal dan jelas bukan merupakan produk hukum yang baik.
Oleh itu,
perlunya keseimbangan antara politik dan hukum seperti yang dinyatakan oleh
tokoh hukum Indonesia Mahfudz MD bahwa, politik merupakan determinasi hukum dan
sebaliknya hukum merupakan determinasi politik. Jadi jelas, bila hukum hanya
menjadi budak politik maka selamanya tidak ada pola-pola baru bagi kemanfaatan
masyarakat.
Struktur Hukum
Struktur hukum
merupakan bagian dari kelembagaan negara yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Terlebih tentang pelaksanaan sebagai eksekutif, pemerintah memiliki
tugas implementatif dalam mempertahankan hukum sebagai mana mestinya: Das Sollen and Das Sain. Denga ini,
perlu juga pemerintah melakukan tindakan preventif upaya tidak berulangnya
sebuah tindakan yang melanggar hukum.
Terlepas dari
lembaga ini, lembaga legislatif perlu kembali mempertimbangkan terhadap
peristiwa, terlebih pula memprediksikan hukum yang belum ada tanpa harus ada
peristiwa dulu kemudian merancang undang-undang. Seperti yang sering kali di beberapa
media, para legislatif terkesan mendadak memproduk hukum setelah ada peristiwa.
Dan berikutnya lembaga yudikatif sebagai lembaga Tuhan kedua dari Maha Adil.
Budaya Hukum
Budaya hukum
merupakan perilaku yang berulang-ulang sehingga menjadi tradisi dan mewarisi.
Sekalipun pembentukan hukum sudah baik, namun budaya hukum yang belum baik,
justru akan merusak tata hidup sosial. Sebab itu, perlunya metodologi empiris
sebagai kesinambungan antara isi hukum dengan beberapa kebiasaan masyarakat.
Ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki hukum kearifan lokal yang berada
di berbagai seantero Nusantara.
Sebagai
pertimbangan, sepadan dengan salah satu ahli hukum internasional Mochtar
Kusumatmadja, yang mencetuskan teori hukum pembangunan (Law and. Development). Ajaran hukum ini pernah populer, bahkan dikenal sebagai mazhab Hukum Unpad
(Universitas Padjajaran). Hukum bukan sekedar alat semata, tetapi di luar itu
juga harus dipandang sebagai sarana. Maka, diperlukan sarana berupa peraturan
hukum yang berbentuk tidak tertulis sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Kamis,
26 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...