Oleh: Masduri[2]
ABSTRAK
Islam Nusantara merupakan gagasan dan gerakan pemikiran NU yang
dinamis dan progresif. Bahkan jauh sebelum NU didirikan, Islam Nusantara telah
mengakar dan menjadi bagian dari nilai-nilai keislaman yang menyejarah dalam
tradisi intelektual ulama Islam klasik. Karena itu, upaya peneguhan Islam
Nusantara sebagai basis gagasan dan inspirasi peradaban dunia bukan merupakan
sesuatu yang berlebihan. Karena keberadaan Islam Nusantara sebagai konsepsi
pemikiran ala NU, telah terbuki mampu menghadirkan dunia keislaman yang lebih
damai, moderat, dan mengedepankan penghargaan yang tinggi terhadap segala
bentuk keragaman.
Di tengah persoalan dunia yang semakin kompleks, seperti gelombang
besar gerakan terorisme, gerakan masif khilafah
Islamiyah, arus globalisasi budaya, tersisihnya politik kesejahteraan, dan
hilangnya humanisme transendental, NU tentu harus tampil di garda depan sebagai
ormas terbesar di Indonesia yang mampu menyuguhkan alternatif melalui basis
tradisi Islam Nusantara, sehingga misi besar Islam sebagai agama rahmatal
lil’alamin dapat terealisasi, agar umat Islam benar-benar menjadi khaira
ummah seperti ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al-Quran.
Pendahuluan
Islam
Nusantara menjadi isu seksi yang menarik perhatian publik. Sejak muncul sebagai
tema Muktamar NU ke 33 di Jombang pada 1-5 Agusus 2015,[3]
keberadaan Islam Nusantara semakin populer. Perdebatan soal istilah Islam
Nusantara tak dapat dielakkan. Para penentangnya adalah mereka yang selama ini
memainkan panggung dakwah Islam secara radikal. Mereka para pendukung gerakan khilafah
Islamiyah juga melawan keras gagasan Islam Nusantara.[4]
Sebagai paradigma keberislaman lokal yang universal, Islam Nusantara sebenarnya
bukan paradigma baru. Istilah ini dimunculkan sebagai upaya meneguhkan keberislaman
yang universal, yakni agama rahmatal lil ‘alamin.
Islam Nusantara
adalah paradigma keberislaman ala NU, yang sudah dijalankan jauh sebelum NU
dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan oleh KH. Hasyim
Asy’ari, atas restu dari gurunya, KH. Khalil Bangkalan.[5]
Artinya, Islam Nusantara adalah gugusan pemikiran para Ulama Islam klasik,
terutama para Wali Songo, dalam menginterpretasikan Islam sebagai gagasan
kebenaran universal. Sehingga dalam perjalanannya, Islam selalu bergerak
dinamis dan progresif, melampuai batas ruang dan waktu.[6]
Bahasa al-Quran shalih likulli zaman wa makan, adalah pemaknaan bahwa
sebagai sumber inspirasi utama dalam Islam, al-Quran adalah wahyu universal
sepanjang masa. Karena itulah, kontekstualisasi terhadap teks-teks al-Quran
harus selalu dibaca sesuai gerak tempat dan zaman.
Sejak awal NU telah merawat Islam Nusantara
sebagai paradigma dakwahnya. Pemikiran ulama Islam masa lalu ini menjadi
warisan berharga bagi NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang
selama ini konsisten merawat tradisi dan berpikir progresif dalam melihat
gerakan zaman dan dinamika sosial kemasyarakatan.[7]
Karena itulah, ketika Islam Nusantara dimunculkan kepermukaan sebagai corak
pemikiran NU, banyak sekali ormas-ormasi yang berseberangan pandangan dengan
NU, mengkiritik dan menentangnya dengan ragam alasan klise, yang sesungguhnya
menunjukkan tekstualitas dan kebuntuan pemikiran keagamaan kelompok-kelompok
Islam Fundamentalis dan Radikal.
NU
sebagai organisasi Islam terbesar, tentu menghadapi tantangan yang besar pula.
NU menjadi lawan besar dari gerakan-gerakan Islam Fundamentalis dan Radikal,
yang hadir dalam ragam ormas, tetapi pemikirannya sama saja antara satu dengan
yang lainnya. Ormas-ormas tersebut menyerang NU dalam beragam perspektif, dari
soal peneguhan tradisi, bid’ah, demokrasi, Pancasila, pluralisme, dan hingga
liberalisme. Tidak heran, NU selalu menjadi objek kajian menarik. Keteguhan NU
memegang komitmen Islam Nusantara sebagai gagasan universal dari pemaknaan
Islam sebagai rahmat bagi semesta
menjadikan keberadaannya semakin memantik penentangan yang keras.
Bahkan, tidak sedikit dari penentang NU, yang berpandangan bahwa pemikiran keagamaan
NU banyak yang syirik, sesat, bahkan hingga pengkafiran.
Dalam
realitasnya, ketika Islam Nusantara menjadi tema besar Muktamar NU pada Agustus
tahun 2015 lalu. Penyesatan hingga pengkafiran terhadap pemikiran tersebut
bertebaran di media cetak dan online. Fakta ini sesungguhnya, meneguhkan bahwa
keberislaman yang berkembang di Indonesia telah bergerak ke arah masa lalu,
seperti banyak dipraktikan di Timur Tengah. Itu artinya, jika dibiarkan
berkembang pemikiran keislaman fundamentalis dan radikal, menjadi ancaman
tersendiri bagi integrasi kebangsaan. Apalagi selama ini secara terang-terangan
telah banyak gerakan sparatis dan penyesatan terhadap Pancasila, UUD 1945, dan
NKRI.[8]
Gerakan khilafah Islamiyah yang digemborkan oleh ormas Islam yang sangat
fundamentalis, telah banyak meraup simpati, bahkan hingga ke tingkat pendidikan
tinggi.
Pada
posisi inilah, Islam Nusantara penting menjadi sebuah gerakan besar menyongsong
masa depan Islam yang lebih mencerahkan. Tidak berlebihan, jika sampai muncul
pandangan bahwa Islam Nusantara merupakan inspirasi peradaban dunia. Bahkan
secara eksplisit dalam tema besar Muktamar NU, tertulis secara jelas,
“Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia”.[9]
Kampanye Islam Nusantara merupakan ikhtiar merawat dan menjaga kemurnian Islam sebagai rahmat bagi semesta. Islam
meminjam bahasa Hassan Hanafi, harus dihadirkan sebagai proyeksi masa depan
kehidupan umat manusia.[10]
Keberislaman adalah gerakan universal penegakan hak-hak hidup, kesejahteraan,
keamanan, dan keadilan.
Tidak
heran bila kini, banyak ormas-ormas Islam di Timur Tengah belajar ke NU di
Indonesia. NU menjadi semacam mazhab baru keberislaman yang dinamis, progresif,
dan mampu menjaga tradisi sebagai landasan membangun pandangan keberagamaan
yang bisa menjaga realisasi sosial demi terwujudnya perdamaian dan terciptanya
kesejahteraan.[11]
Kemampuan NU sebagai benteng NKRI di tengah runtuhnya negara-negara Islam di
Timur Tengah, menjadikan Islam Nusantara sebagai paradigma keberislaman ala NU,
sebagai sesuatu yang spesial bagi asing untuk belajar tentangnya. Karena faktanya,
tidak mudah mendialogkan keislaman dan kenegaraan, seperti dilakukan oleh NU di
Indonesia.
Keberanian
NU menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya menjadi langkah yang
sangat progresif waktu itu dalam Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984.[12]
Bahkan secara tegas NU menyatakan NKRI harga mati. Sesuatu yang tidak mudah
diterima oleh kalangan Islam Fundamentalis dan Radikal dari dulu hingga kini.
Dalam perjalanannya selalu ada gesekan-gesekan pertentangan antara kelompok NU
dan kelompok mereka. Mereka selalu mengatasnamakan puritanisme, sedangkan NU
berpikiran jauh ke depan dalam rangka menjaga masa depan Islam Indonesia sebagai
sumber inspirasi dan role model peradaban Islam dunia.[13]
Sepertinya, NU memang sudah mampu menyedot perhatian publik dunia, sehingga
pergeseran tentang studi Islam banyak berarah ke Indonesia. Jika dulu ada yang
hendak belajar Islam pergi ke Timur Tengah, kini keberislaman di Indonesia
lebih seksi dan menarik dari pada dinamika keislaman di Timur Tengah yang dari
hari ke hari mengalami kemunduran.
Pergeseran
studi keislalaman ini menjadi penanda adanya gerakan dinamis pemikiran
keislaman di Indonesia, yang banyak dimotori oleh intelektual NU sebagai ormas
mayoritas. Pemikiran Islam Nusantara meneguhkan dinamisnya dinamika wacana
keislaman di tubuh NU. Lebih dari itu, Islam Nusantara ini menjadi gerakan
dakwah NU, sebagai komitmen meneguhkan keadaban Islam sebagai agama rahmatal
lil ‘alamin, sekaligus menegakkan keadaban Indonesia sebagai negara multikultural,
yang harus menjunjung tinggi semangat persatuan, keadilan, dan kesejahteraan
bersama.[14]
NU terus berkomitmen dan konsisten menjadi ormas pejuang Islam dan penjaga
NKRI, guna menghadirkan kehidupan khaira ummah yang ta’muruna bila
ma’ruf dengan cara ma’ruf dan tanhauna ‘anil munkar dengan
cara tidak munkar.
Tantangan Masa
Depan
Kehadiran
Islam Nusantara sebagai pemikiran keislaman yang dihadirkan sebagai gerakan dakwah
merupakan respons NU terhadap persoalan-persoalan mendasar dunia Islam hari
ini. Terutama berkaitan dengan kekerasan dan dialog Islam dengan negara,
seperti banyak terjadi di Timur Tengah. Sejak revolusi Tunisia, hingga kini
keberadaan rakyat di Timur Tengah masih kurang aman dan nyaman. Mesir yang
selama ini kita anggap sebagai inspirasi peradaban Islam tak juga mampu
menghadapi persoalan politik yang mendera negerinya. Kini mereka harus menata
kembali masa depan negerinya. Fakta ini sebenarnya mempertegas bahwa dialog
Islam dengan negara tak pernah selesai, kendati wacana tersebut sudah lama
berkembang dalam pemikiran umat Islam.
Lebih
dari itu, dalam bentuk yang lebih ekstrem kemunculan Islamic State of Iraq
and Syria (ISIS) sebagai gerakan pendirian negara Islam telah memantik
respons sangat tidak baik dari dunia lantaran tindakan yang dilakukannya
mengguncang nurani kemanusian kita.[15]
Betapa kekacauan yang terjadi di Iraq dan Syiria telah berada puncak yang
sangat mengerikan. Korban tindakan brutal ISIS bukan saja dari kalangan
non-Muslim, tetapi juga banyak dari umat Islam sendiri. Tindakan-tindakan teror
yang dilakukan ISIS tidak saja terjadi di Timur Tengah, bahkan sampai di Eropa
hingga di Indonesia, seperti Bom di Paris,[16]
Bom Sarinah di Jakarta, dan Bom di Brussels.
Persoalan-persoalan
ini tak saja menjadi masalah kita hari ini, namun juga sangat mungkin
berkembang dalam gerakan yang dinamis di masa depan. Karena kehadiran
modernitas dan globalisasi, telah melahirkan kehampaan spiritual di mana banyak
orang frustasi hingga kemudian lari mencari kepuasan spiritualitas pada kesalahpahaman
jihad dengan perang. Hal ini sebenarnya juga didukung oleh digitalisasi
informasi dan arus cepat pergerakan pemikiran sebagai efek dari kehadiran
globalisasi. Sehingga ujungnya, yang terseret ke ruang hampa dan gelap
modernitas adalah hilangnya semangat kesejahteraan bersama dan humanisme
transendental sebagai landasan keberislaman yang sejati, di mana hal tersebut
terus dipraktikan oleh para pelaku gerakan Islam Nusantara sebagai realisasi
dari misi besar Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam.
Karena
itu, secara mendasar dalam hal ini tantangan besar yang dihadapi oleh umat
Islam sedikitnya ada empat.
Pertama, gelombang besar
gerakan terorisme. Persoalan ini tidak klise. Meski sudah lama mendera citra
Islam, sampai kini reproduksi gerakan terorisme terus dilakukan dan berkembang
sedemikian rupa. Para pelakunya semakin berkembang kendati telah banyak yang
tertangkap dan dieksekusi mati. Meninggalnya dedengkot gerakan terorisme seperti
Osama bin Laden tak juga menciutkan nyali pelaku terorisme untuk tidak lagi
melakukan kekacauan atas nama agama.[17]
Kemunculan-kemunculan teror, baik di dalam ataupun di luar negeri selalu dikaitkan
dengan Islam. Islam seolah menjadi penyumbang pebantaian mansuia tertinggi.
Sedangkan pada yang sejati, Islam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
manusia sebagai landasan ajarannya.
Gerakan
terorisme ini menjadi tantangan dan musuh besar Islam sendiri, apalagi
pelakunya banyak dari umat Islam sendiri. Dari waktu ke waktu gerakan mereka
semakin masif, bahkan dari segi pendanaan dan persenjataan mereka semakin besar
dan maju. Sebagai contoh mutakhir, keberadaan ISIS dengan ragam persenjataan
yang dimilikinya mempertegas betapa gerakan terorisme yang lahir dari landasan
jihad ataupun pendirian negara Islam semakin kokoh. Karena itulah, sebagai
pembawa pesan rahmat dari Nabi dengan misi besar hadirnya Islam sebagai penegak
rahmat bagi semesta alam, maka NU melalui gerakan Islam Nusantara harus mampu
memainkan peran yang baik dalam melawan gerakan terorisme kelompok radikal dan
fundamentalis.
NU
melalui Islam Nusantara sebagai basis gerakannya, sejak awal telah menjadi
peneguh hadirnya wajah Islam yang ramah dan mampu menghargai keragaman sebagai
kehendak Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Kehadiran ragam agama harus menjadi
pelecut semangat bagi umat Islam dalam upaya berlomba-lomba menegakkan
keyakinan kebenarannya. Agar agama tidak pasif, melainkan dinamis menjadi
realitas sosial yang membumi dalam masyarakat. Ajaran-jaran Islam Nusantara
yang menjadi komitmen NU, seperti tasamuh (toleran), tawazun
(seimbang/harmoni), dan tawasut (moderat), merupakan gerakan dinamis
guna merealisasikan hadirnya kehidupan umat yang harmonis. Latar belakang
apapun yang melekat dalam diri masing-masing tidak perlu dipersoalkan. Kita
hanya butuh berpikir soal latar depan, yakni kehidupan harmonis, dalam bingkai
keragaman yang besar.
Kedua, gerakan
masif khilafah Islamiyah. Sebagai
gerakan transnasional, khilafah Islamiyah yang didirkan oleh Taqiyuddin
an-Nabhani menjadi tantangan besar bagi umat Islam di tengah masifnya gerakan
fundamentalisme Islam. Pasalnya tidak sederhana, melihat kondisi umat Islam
kini sudah terpetak-petak dalam sebuah negara, yang mengharuskan setiap warga
negara harus menghargai keragaman agama dan budaya. Apalagi dalam konteks
Indonesia, tentu saja kehadiran khilafah Islamiyah, yang dalam konteks
Indonesia bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menjadi persoalan mendasar
karena berkaitan dengan integrasi kebangsaan.[18]
NKRI dengan dasar Pancasila dan
konstitusi UUD 1945 telah final dan menjadi komitmen NU dan ormas-ormas moderat
lainnya. Bahkan NU menjadi satu-satunya ormas Islam yang pertama kali
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya. Penerimaan NU terhadap
Pancasila, yang oleh kelompok HTI dianggap sebagai hukum thaghut,
sejatinya menandakan progresifitas dan kedewasaan berpikir intelektual NU dalam
melihat realitas dan tantangan umat Islam.
Karena itu, kita tidak bisa
berandai ke masa lalu, menghendaki kehadiran kekuasaan tunggal dalam Islam,
sedangkan konsep khilafah Islamiyah jika merujuk pada masa lalu umat
Islam belum jelas alias abu-abu. Karena setiap kepemimpinan khilafah
Islamiyah memiliki konsep yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya.[19]
Apalagi kemunculan konsep negara secara terpaksa membuat umat Islam terpisahkan
secara teritorial. Karena itulah, membayangkan khilafah Islamiyah
sejatinya adalah ilusi karena frustasi besar ketidakdewasaan berpikir kelompok khilafah
Islamiyah dalam menghadapi realitas dan tantangan zamannya.
Ketiga, arus
globalisasi budaya. Kita tidak bisa mengelakkan kehadiran globalisasi dalam
ragam bentuknya telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan dunia.
Apa yang disebut sebagai borderless world (dunia tanpa batas) oleh Kenichi Ohmae adalah bayangan dunia baru yang
mengaburkan batas-batas wilayah, terutama kebudayaan sebagai penanda identitas
paling jelas dari sebuah komunitas masyarakat.[20]
Karena itulah, di tengah tantangan globalisasi budaya yang semakin menguat,
apalagi pasca maraknya digitalisasi media, di mana informasi dalam bentuk teks
ataupun visual dapat diakses secara cepat dan sangat mudah. NU sebagai ormas
dengan gerakan Islam Nusantara harus bisa memainkan peran yang signifikan dalam
menyaring arus globalisasi budaya. Karena jika tida, Indonesia akan menjadi
Barat atau Timur Tengah.
Dalam tradisi Islam Nusantara yang
berkembang di pesantren, al-muhafadzatu 'ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, menjadi benteng sekaligus
pegangan dalam menghadapi arus globalisasi dan perubahan dunia baru.[21] Prinsip ini sejatinya berakar dari pandangan keislaman ala
NU yang sangat ramah terhadap keragaman budaya lokal. Bahkan gagasan Islam
Nusantara sejatinya merepresentasikan pandangan lokalitas keislaman yang dibawa
ke panggung dunia sebagai cermin baru keadaban umat Islam dalam mendialogkan
ajaran Islam, lokalitas, dan negara. Karena itulah, tidak berlebihan jika Islam
Nusantara dicanangkan sebagai role model keislaman dunia, di tengah krisis yang melanda umat Islam
akibat tidak mampu mendialogkan ajaran Islam dengan ruang dan waktu yang
melingkupinya.
Keempat, tersisihnya politik
kesejahteraan. Sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi semesta. Islam tentu
harus juga hadir sebagai gerakan dinamis yang menyejarah. Salah satunya harus
mengambil peran aktif dalam upaya mendorong terwujudnya politik kesejahteraan.[22]
Pragmatisme politik yang berkembang dunia, secara khusus dalam konteks
Indonesia, sebagai akibat dari hadirnya kapitalisme ekonomi menjadi persoalan
mendasar yang harus direspons secara aktif oleh ormas-ormas Islam. Karena bila tidak, akan terjadi kapitalisme politik,
di mana kekuasaan di dominasi oleh kelompok-kelompok super kaya, sehingga
kebijakan dikendalikan oleh para kapitalis. Akibatnya kesejahteraan hanya
dinikmati segelintir elit politik dan kekuasaan.
Dalam tradisi Islam Nusantara
sebagai basis nilai NU, ada nilai ta’adul (keadilan) sebagai prinsip
mendasar dalam segala lini kehidupan, tak terkecuali dalam politik
kesejahteraan. Nilai keadilan ini menghendaki hadirnya keadilan ekonomi yang
terbuka dan didapatkan secara bersama-sama, meski antara yang satu dengan yang
lainnya tidak harus sama. Karena keadilan sendiri memang tidak mensyaratkan
kesamaan secara kuantitatif. Tetapi secara subtantif keadilan itu harus mampu
menegakkan persamaan. Konkretnya, soal kekayaan rakyat tidak harus sama karena
itu berkaitan dengan kerja keras. Tetapi rakyat secara keseluruhan harus
mendapatkan akses yang sama terhadap kesejahteraan sehingga mereka juga
mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Inilah yang disebut sebagai
politik tingkat tinggi (siyasah al-‘aliyah) dalam gerakan NU sebagai
ormas Islam terbesar.
Kelima, hilangnya humanisme
transendental. Persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia hari ini bahkan
hingga jauh ke depan adalah soal pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusian.
Semakin masifnya pelanggaran hak asasi manusia, seperti kebebasan beragama,
kebebasan berpendapat, kesetaraan gender, bahkan hingga hak kemerdekaan
mempertegas jika modernitas tak sepenuhnya mampu menghadirkan paradigma dan
tindakan baru yang lebih mencerahkan. Apa yang dialami oleh warga Palestina
hingga kini mempertegas meski dunia maju dan humanisme terus disuarakan, tetapi
di sisi lain penindasan terus direproduksi sedemikian rupa. Hingga ujungnya
berimplikasi pada hilangnya hak kesejahteraan, keamanan, keadilan, pendidikan,
politik, dan segenap hak-hak dasar kemanusian.
NU yang hadir dalam gerakan Islam
Nusantara sebagai peneguh dari keislaman yang merahmati bagi semesta, memiliki
segudang nilai-nilai sebagai landasan dalam menegakkan humanisme transendental.
Persoalan kemanusiaan yang terjadi, tak terkecuali bagi non-Muslim, juga
merupakan persoalan umat Islam.[23]
Karena semua manusia berasal dari Tuhan yang satu, dialah Allah SWT. yang kita
yakni kebenarannya. Sehingga sebagai khalifah fil ard, manusia harus
mengambil peran aktif dalam upaya menghadirkan terwujudnya hak-hak kemanusian,
berupa kebebasan, kesejahteraan, keamanan, keterdidikan, dan keadilan. Bahasa Islam
rahmatal lil ‘alamin adalah terwujudnya humanisme transendental sebagai
manusia yang sama-sama berasal dari Tuhan yang satu.
Mewujudkan Khaira Ummah
Upaya NU
meneguhkan Islam Nusantara sebagai paradigma keberislaman yang dinamis dan
progresif, sebenarnya tak lain dilakukan sebagai realisasi dari konsep khaira
ummah yang ditegaskan oleh Allah SWT. dalam teks al-Quran.[24]
Umat Islam itu adalah umat terbaik yang dijanjikan oleh Tuhan mampu menegakkan
keadaban dan menanggalkan kebiadaban. Bahasa ta’muruna bil ma’ruf dan tanhauna
‘anin munkar dalam konsepsi khaira ummah mengisyaratkan pesan
penting tentang kehadiran umat Islam sebagai rahmat bagi semesta. Karena
itulah, dalam upaya menegakkan ta’muruna bil ma’ruf, cara-cara yang
dilakukan harus konstruktif dan menebar kemaslahatan bagi sesama. Begitu
pula ketika kita menyerukan tanhauna
‘anin munkar, cara-cara yang dilakukan harus tidak destruktif dan tidak
melahirkan petaka kemanusian.[25]
Konstruksi khaira ummah ini
sejatinya harus dimaknai sebagai pengharapan besar dari Tuhan kepada umat Islam
agar ajaran Islam itu bergerak dinamis sesuai konteks zaman dan tempatnya.[26]
Karena bila tidak dimaknai sebagai gerakan dinamis, kita akan terjebak pada
doktrin kebenaran langit, sebuah keimanan yang statis dan mengawang dalam
pikiran. Sedangkan, keimanan yang sesungguhnya adalah keimanan dinamis dengan
konstruksi sosial yang beradab dan tercerahkan.
Karena
itulah tokoh seperti Gus Dur, mengambil
aktualisasi spirit maqasidu al-syariah sebagai landasan dasar paradigma
Islam Nusantara. Aktualisasi tersebut adalah, pertama, keselamatan
fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu
an-nafs). Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing,
tanpa ada paksaan untuk berpindah pada agama lain (hifdzu ad-din). Ketiga,
keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan
harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur
hukum (hifdzu
al-mal). Dan, kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu
al-milk).[27]
Aktualitas
pemikiran Gus Dur ini sebenarnya adalah langkah konkret guna menghadirkan umat
Islam sebagai khaira
ummah, yang mampu menghadirkan keadaban dan menghindarkan
kebiadaban hidup. Itulah tujuan utama dari kehadiran gerakan Islam Nusantara.
Gagasan dan gerakan Islam Nusantara sejak awal kehadirannya,
memang menghendaki Islam sebagai world
view yang mencerahkan. Sehingga
mampu menggerakkan semua orang, tanpa harus melihat latar agama, suku, budaya,
dan negaranya, untuk bertindak konstruktif dan menghindarkan tindakan
destruktif, seperti dalam konsepsi khaira
ummah, guna menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Itu artinya, gerakan yang harus kita lakukan tidak saja dakwah internal bagi
sesama Muslim, tetapi juga dakwah universal lintas agama dan negara, sehingga
Islam menjadi corong world
view internasional. Sebagai
realisasi dari konsepsi khaira
ummah, yang menegakkan keadaban
dan menghindarkan kebiadaban hidup.
Penutup
Islam
Nusantara sebagai sebuah gagasan dan gerakan mengandaikan hadirnya dunia baru
yang lebih mencerahkan dan tercerahkan. Landasan dasar yang dibawa adalah misi
besar Islam sebagai agama rahmatal lil’alamin guna menjadikan umat Islam
sebagai khaira ummah seperti ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al-Quran.
Tantangan
dunia hari ini dan di masa mendatang, seperti terorisme, gerakan transnasional khilafah
Islamiyah, arus globalisasi budaya, tersisihnya politik kesejahteraan, dan hilangnya
humanisme transendental, mengharuskan umat Islam melakukan gerakan dinamis dan
progresif dalam merespon persoalan tersebut. Islam Nusantara sebagai paradigma
keislaman yang ditawarkan oleh NU menyajikan seperangkat gagasan dan
nilai-nilai keislaman yang dinamis dan progresif dalam merespons persoalan
dunia secara bijak.
Sebagai
inspirasi peradaban dunia, Islam Nusantara tak menghendaki eksploitasi
pemikiran ataupun paradigma keislaman. Itu artinya, Islam Nusantara tak hendak
menusantarakan Timur Tengah, menusantarakan Eropa, ataupun menusantarakan
Amerika. Islam Nusantara hanya menawarkan konsepsi paradigama keislaman yang
progresif dan dinamis melalui dasar Islam sebagai rahmat, dengan konteks
masing-masing daerah, negara, dan kondisi sosial budaya masyarkat setempat.
Daftar Pustaka
Ahmad, Rumadi.
“NU, dari Sunatara untuk Dunia”. Kompas, 31 Juli 2015.
Al-Amin, Ainur Rafiq.
“Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005.
Athyal, Jesudas M. Religion in
Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures. California:
ABC-CLIO, 2015.
Baso, Ahmad. NU Studies:
Pergolakan Pemikiran antara Fundametalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi,
Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Fachruddin, Fuad. Agama dan
Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta:
Alvabet, 2006.
Hanafi, Hassan. Pandangan Agama
tentang Tanah; Suatu Pendekatan Islam. Prisma 4, 1984.
Musa,
Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-Isu
Aktua. Jakarta: Serambi, 2014.
Koran Online, www.eramuslim.com, “Habib Rizieq: Inilah Kesesatan Jemaat Islam
Nusantara (JIN)”, diakses tanggal 1 April 2016.
Laffan, Michael. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta:
Bentang Pustaka, 2015.
Masduri. “Meramal Masa Depan ISIS”.
Banjarmasin Post, 18 November 2015.
_______. “NU Benteng Keutuhan
Negara,”. Jawa Pos, 1 Februari 2016.
Misrawi, Zuhairi. “Meneguhkan Islam
Nusantara”. Kompas, 1 Agustus 2015.
_______. “Proliferasi NIIS”. Kompas.
6 Agustus 2014.
_______. Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: Kompas Gramedia,
2010.
Moesa, Ali Maschan. NU, Agama, dan
Demokrasi. Surabaya: Pustaka Dai Muda, 2002.
Ohmae,
Kenichi. The Borderless World Power and Strategy in The Interlinked Economy.
New York:
MacKinsey & Company Inc, 1990.
Ridwan. Paradigma
Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Rumadi. Post-tradisionalisme
Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU .
Cirebon: Fahmina Institue, 2008.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di
Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet, 2012.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf
sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspiras. Bandung:
Mizan, 2006.
Sutrisno,
Budiono Hadi. Sejarah Walisongo: Misi Pengislaman Jawa. Yogyakarta: Grha
Pustaka, 2007.
Wahid, Abdurrahman. Ilusi
Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di
Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008.
_______. Islam Kosmopolitan:
Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid
Institute, 2007.
Zahro, Amad. Tradisi Intelektual
NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999. Yogyakarta: LKiS, 2004.
[1] Tulisan ini adalah pengantar dalam
diskusi yang dihelat oleh Indonesia
Belajar Institut (IBI) pada, Jumat, 27 Mei 2016, di Angkringan 57 Surabaya,
jl. Jemurwonosari Lebar. Tulisan ini masuk sebagai salah satu tulisan yang
terbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama’ (PBNU) secara berampai berjudul: “Islam
Nusantara, Inspirasi Peradaban Dunia”.
[2]
Mahasiswa
Magister Filsafat Agama Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
Surabaya.
[3] Zuhairi Misrawi, “Meneguhkan
Islam Nusantara”, Kompas, (1 Agustus 2015), 1.
[4] Diantara sekian
penentang Islam Nusantara adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib
Riziq Sihab. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara)
merupakan paham yang sesat dan menyesatkan, serta bukan dari ajaran Islam,
sehingga wajib ditolak dan dilawan serta diluruskan. Baca dalam, Koran Online, www.eramuslim.com, “Habib Rizieq: Inilah Kesesatan Jemaat Islam
Nusantara (JIN)”, diakses tanggal 1 April 2016.
[5] NU didirikan pada tanggal 31
Januari 1926 di Surabaya, sedangkan praktik keagamaan ala NU sudah ada jauh
sebelum itu. Lihat dalam, Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari:
Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010 ), 285.
Dalam tulisan Martin van Bruinessen kemunculan NU sebagai
ormas Islam lahir karena desakan kaum reformis Islam, sehingga KH. Hasyim
Asy’ari menghendaki adanya organisasi yang mampu membentengi tradisi Islam yang
sudah lama berkembang di Indonesia. Baca dalam, Martin van Bruinessen, NU:
Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS,
1994), 26. Dalam catatan lain, menurut Michael Laffan,
kehadiran NU merupakan upaya membentengi tradisi Islam ala Sunni yang sudah
disepakati oleh ulama-ulama Islam masa lalu, keberislaman ala Sunni ini begitu
menghargai keragaman budaya. Lihat dalam, Michael Laffan, Sejarah Islam
Nusantara (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015), 252.
[6] Keberhasilan pengislaman di Jawa
merupakan bentuk siasat kultural berbasis kecerdasan spiritual yang
dilakukan Wali Songo, sehingga
Islam hadir sebagai agama dinamis dan progresif sesuai ruang dan waktunya. Baca dalam, Budiono Hadi
Sutrisno, Sejarah Walisongo: Misi Pengislaman Jawa (Yogyakarta:
Grha Pustaka, 2007), 230.
[7] Meski sebagai organisasi penjaga
tradisi, NU tetap berpikiran progresif sebagai respons terhadap dinamika
zamannya. Baca dalam, Rumadi, Post-tradisionalisme Islam:
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU (Cirebon: Fahmina Institue,
2008), 327.
[8] NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang besar merupakan aset berharga
bangsa Indonesia. Karena NU bisa menjadi benteng keruntuhan negara yang selama
ini sering dirusak dan dirong-rong oleh sebagian masyarakat ataupun organisasi
keagamaan. Karena itulah, secara serius NU harus terus berperan aktif dalam
menjaga keutuhan NKRI. Komitmen NU menjadikan NKRI sebagai harga mati harus
benar-benar mengakar dalam setiap gerakannya. Sehingga semua warga NU dan umat
Islam secara umum benar-benar merasa memiliki terhadap NKRI dan menjaganya
dengan baik. Karena bagi NU, yang paling penting bukan bentuk negaranya, tetapi
bagaimana peran negara terhadap kesejahteraan rakyat. Sehingga dengan demikian,
NU secara konsisten harus terus mendukung keberlanjutan masa depan NKRI, agar
cita-ciata mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur dapat terwujud. Baca
dalam, Masduri,
“NU Benteng Keutuhan Negara,” Jawa Pos (1 Februari 2016), 4.
[9] Tema Muktamar Ke-33 Nahdlatul
Ulama, 1-5 Agustus 2015, di Jombang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara
untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini menunjukkan adanya
kesadaran baru orientasi keberislaman, bukan hanya inward looking,
melainkan juga outward looking. NU tidak hanya didedikasikan untuk
Indonesia, tetapi juga untuk dunia. Lihat dalam, Rumadi Ahmad, “NU, dari
Sunatara untuk Dunia”, Kompas, (31 Juli 2015), 6.
[10] Percaya kepada
Tuhan sebagai Zat Pencipta, tidak cukup hanya dalam hati, tetapi harus
diwujudkan secara konkret dalam tindakan nyata. Agar kehadiran agama Islam tidak hampa sebagai jalan hidup (way of life) yang
mencerahkan. Teologi sebagai sebuah konsep keyakinan keagamaan, hadir melalui
ungkapan tafsir para teolog, yang didorong oleh tuntutan kemanusiaan serta
kebutuhan masyarakat. Bagi Hanafi, sejarah teologi adalah sejarah
proyeksi dan keinginan manusia untuk masuk ke dalam kitab suci, dengan
menggantungkan keinginan dan kebutuhan hidupnya. Baca dalam, Hassan Hanafi, Pandangan
Agama tentang Tanah; Suatu Pendekatan Islam (Prisma 4, 1984), 39.
[11] Misrawi, “Meneguhkan Islam
Nusantara”.., 7.
[12] Pancasila adalah objektivikasi nilai-nilai
Islam ke dalam kehidupan sosial. Sikap inilah yang
dipegangi Nahdlatul Ulama, sehingga Pancasila
diterima sebagai asas organisasinya. Baca dalam, Ali Masykur Musa, Membumikan
Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi,
2014), 287.
[13] Jesudas M.
Athyal, Religion in Southeast
Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures (California: ABC-CLIO, 2015),
201.
[14] Fuad Fachruddin, Agama dan
Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Jakarta:
Alvabet, 2006), 89.
[15] Sebagai sebuah gerakan, ISIS/NIIS
sudah lama menjadi bahan perbincangan publik internasional. Sejak berdiri pada
2013, SIS/NIIS langsung menjadi kelompok yang kontroversial di dunia Arab dan
dunia Barat. Pasalnya, ISIS/NIIS menjelma sebagai gerakan politik yang solid
dan punya sokongan dana yang kuat. Eksistensi ISIS/NIIS ditengarai lebih
berbahaya daripada jaringan internasional al-Qaeda karena mereka mempunyai
”tanah air” dan basis yang punya legitimasi politik. ISIS/NIIS hadir pada
momentum yang tepat, saat negara-negara Arab sedang mengalami transisi
demokrasi akibat angin kencang revolusi. Baca dalam, Zuhairi Misrawi, “Proliferasi
NIIS”, Kompas, (6 Agustus 2014), 7.
[16] Teror yang melanda Prancis
menggetarkan dunia. Berbagai macam simpati dan empati dihadirkan untuk Prancis.
Teror di Prancis sebagai tragedi kemanusian telah menciptakan sketsa luka yang
mendalam, sehingga energi yang dikirimkan begitu mudah menyentuh ke belahan
negara lain. Apalagi sebagai tragedi kemanusian, peristiwa teror yang terjadi
di Prancis sangat mungkin diduplikasi oleh pejuang ataupun simpatisan State of Iraq and Syria (ISIS) di negara lain, termasuk
di Indonesia. Sehingga peristiwa teror di Prancis bukan saja mengirimkan luka
yang mendalam, tetapi juga ketakutan yang mendalam. Karena meminjam bahasa Kenichi
Ohmae, globalisasi
telah menciptakan dunia tanpa batas, sehingga interaksi dengan berbagai belahan
dunia mudah terjadi dan benih-benih terorisme bisa tumbuh dan berkembang baik
dengan mudah. Baca dalam, Masduri, “Meramal Masa Depan ISIS”, Banjarmasin
Post, (18 November 2015), 13.
[17] Osama bin Laden
meninggal pada 1 Mei 2011, kesulitan intelijen Amerika Serikat menumpas Osama
karena ia banyak dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah. Baca dalam, Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia: Dalam
Tinjauan Psikologi (Jakarta: Alvabet, 2012), 81.
[18] Ainur Rafiq al-Amin,
“Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16.,
No. 2, (2005), 110-115.
[19] Abdurrahman Wahid, Ilusi
Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia (Jakarta:
The Wahid Institute, 2008), 150.
[20] Kenichi
Ohmae, The Borderless
World Power and Strategy in The Interlinked Economy (New York: MacKinsey &
Company Inc, 1990),18.
[21] Islam Nusantara sebagai
pemikiran yang berakar dari tradisi pesantren, tentu sangat menjujung tinggi
semangat al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid
al-ashlah. Baca dalam, Ali
Maschan Moesa, NU, Agama, dan Demokrasi (Surabaya: Pustaka Dai Muda,
2002), 231.
[22] Sebagai ormas yang pernah menjadi
partai politik NU tentu sadar betul bagaimana pergulatan dunia politik praktis,
karena itu ketika NU meneguhkan diri kembali ke Khittah 1926, NU secara
konsisten memainkan politik tingkat tinggi, yakni politik kesejahteraan sebagai
penegas dari kehadiran negara yang mampu melindungi kehidupan rakyatnya. Baca
dalam, Ridwan, Paradigma Politik NU:
Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 147.
[23] Ukhuwah Basyariah atau
persaudaraan berdasar kemanusian merupakan nilai keislaman yang sangat
dijunjung tinggi oleh NU, sebagai dasar membangun harmoni kebersamaan. Baca
dalam, Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme
Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), 469.
[24] “Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Imran: 110).
[25] Amad Zahro, Tradisi Intelektual
NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 24.
[26] Said Aqil Siroj, Tasawuf
sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung:
Mizan, 2006), 223.
[27] Abdurrahman Wahid, Islam
Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta:
The Wahid Institute, 2007), 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...