Jumat, 27 Mei 2016

MERAWAT ISLAM NUSANTARA, MENJAGA MASA DEPAN ISLAM[1]

Oleh: Masduri[2]

ABSTRAK
Islam Nusantara merupakan gagasan dan gerakan pemikiran NU yang dinamis dan progresif. Bahkan jauh sebelum NU didirikan, Islam Nusantara telah mengakar dan menjadi bagian dari nilai-nilai keislaman yang menyejarah dalam tradisi intelektual ulama Islam klasik. Karena itu, upaya peneguhan Islam Nusantara sebagai basis gagasan dan inspirasi peradaban dunia bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Karena keberadaan Islam Nusantara sebagai konsepsi pemikiran ala NU, telah terbuki mampu menghadirkan dunia keislaman yang lebih damai, moderat, dan mengedepankan penghargaan yang tinggi terhadap segala bentuk keragaman.
Di tengah persoalan dunia yang semakin kompleks, seperti gelombang besar gerakan terorisme, gerakan masif  khilafah Islamiyah, arus globalisasi budaya, tersisihnya politik kesejahteraan, dan hilangnya humanisme transendental, NU tentu harus tampil di garda depan sebagai ormas terbesar di Indonesia yang mampu menyuguhkan alternatif melalui basis tradisi Islam Nusantara, sehingga misi besar Islam sebagai agama rahmatal lil’alamin dapat terealisasi, agar umat Islam benar-benar menjadi khaira ummah seperti ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al-Quran.

Pendahuluan
            Islam Nusantara menjadi isu seksi yang menarik perhatian publik. Sejak muncul sebagai tema Muktamar NU ke 33 di Jombang pada 1-5 Agusus 2015,[3] keberadaan Islam Nusantara semakin populer. Perdebatan soal istilah Islam Nusantara tak dapat dielakkan. Para penentangnya adalah mereka yang selama ini memainkan panggung dakwah Islam secara radikal. Mereka para pendukung gerakan khilafah Islamiyah juga melawan keras gagasan Islam Nusantara.[4] Sebagai paradigma keberislaman lokal yang universal, Islam Nusantara sebenarnya bukan paradigma baru. Istilah ini dimunculkan sebagai upaya meneguhkan keberislaman yang universal, yakni agama rahmatal lil ‘alamin.
            Islam Nusantara adalah paradigma keberislaman ala NU, yang sudah dijalankan jauh sebelum NU dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan oleh KH. Hasyim Asy’ari, atas restu dari gurunya, KH. Khalil Bangkalan.[5] Artinya, Islam Nusantara adalah gugusan pemikiran para Ulama Islam klasik, terutama para Wali Songo, dalam menginterpretasikan Islam sebagai gagasan kebenaran universal. Sehingga dalam perjalanannya, Islam selalu bergerak dinamis dan progresif, melampuai batas ruang dan waktu.[6] Bahasa al-Quran shalih likulli zaman wa makan, adalah pemaknaan bahwa sebagai sumber inspirasi utama dalam Islam, al-Quran adalah wahyu universal sepanjang masa. Karena itulah, kontekstualisasi terhadap teks-teks al-Quran harus selalu dibaca sesuai gerak tempat dan zaman.
              Sejak awal NU telah merawat Islam Nusantara sebagai paradigma dakwahnya. Pemikiran ulama Islam masa lalu ini menjadi warisan berharga bagi NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang selama ini konsisten merawat tradisi dan berpikir progresif dalam melihat gerakan zaman dan dinamika sosial kemasyarakatan.[7] Karena itulah, ketika Islam Nusantara dimunculkan kepermukaan sebagai corak pemikiran NU, banyak sekali ormas-ormasi yang berseberangan pandangan dengan NU, mengkiritik dan menentangnya dengan ragam alasan klise, yang sesungguhnya menunjukkan tekstualitas dan kebuntuan pemikiran keagamaan kelompok-kelompok Islam Fundamentalis dan Radikal.
            NU sebagai organisasi Islam terbesar, tentu menghadapi tantangan yang besar pula. NU menjadi lawan besar dari gerakan-gerakan Islam Fundamentalis dan Radikal, yang hadir dalam ragam ormas, tetapi pemikirannya sama saja antara satu dengan yang lainnya. Ormas-ormas tersebut menyerang NU dalam beragam perspektif, dari soal peneguhan tradisi, bid’ah, demokrasi, Pancasila, pluralisme, dan hingga liberalisme. Tidak heran, NU selalu menjadi objek kajian menarik. Keteguhan NU memegang komitmen Islam Nusantara sebagai gagasan universal dari pemaknaan Islam sebagai rahmat bagi semesta  menjadikan keberadaannya semakin memantik penentangan yang keras. Bahkan, tidak sedikit dari penentang NU, yang berpandangan bahwa pemikiran keagamaan NU banyak yang syirik, sesat, bahkan hingga pengkafiran.
            Dalam realitasnya, ketika Islam Nusantara menjadi tema besar Muktamar NU pada Agustus tahun 2015 lalu. Penyesatan hingga pengkafiran terhadap pemikiran tersebut bertebaran di media cetak dan online. Fakta ini sesungguhnya, meneguhkan bahwa keberislaman yang berkembang di Indonesia telah bergerak ke arah masa lalu, seperti banyak dipraktikan di Timur Tengah. Itu artinya, jika dibiarkan berkembang pemikiran keislaman fundamentalis dan radikal, menjadi ancaman tersendiri bagi integrasi kebangsaan. Apalagi selama ini secara terang-terangan telah banyak gerakan sparatis dan penyesatan terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.[8] Gerakan khilafah Islamiyah yang digemborkan oleh ormas Islam yang sangat fundamentalis, telah banyak meraup simpati, bahkan hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
            Pada posisi inilah, Islam Nusantara penting menjadi sebuah gerakan besar menyongsong masa depan Islam yang lebih mencerahkan. Tidak berlebihan, jika sampai muncul pandangan bahwa Islam Nusantara merupakan inspirasi peradaban dunia. Bahkan secara eksplisit dalam tema besar Muktamar NU, tertulis secara jelas, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia”.[9] Kampanye Islam Nusantara merupakan ikhtiar merawat dan menjaga kemurnian  Islam sebagai rahmat bagi semesta. Islam meminjam bahasa Hassan Hanafi, harus dihadirkan sebagai proyeksi masa depan kehidupan umat manusia.[10] Keberislaman adalah gerakan universal penegakan hak-hak hidup, kesejahteraan, keamanan, dan keadilan.     
            Tidak heran bila kini, banyak ormas-ormas Islam di Timur Tengah belajar ke NU di Indonesia. NU menjadi semacam mazhab baru keberislaman yang dinamis, progresif, dan mampu menjaga tradisi sebagai landasan membangun pandangan keberagamaan yang bisa menjaga realisasi sosial demi terwujudnya perdamaian dan terciptanya kesejahteraan.[11] Kemampuan NU sebagai benteng NKRI di tengah runtuhnya negara-negara Islam di Timur Tengah, menjadikan Islam Nusantara sebagai paradigma keberislaman ala NU, sebagai sesuatu yang spesial bagi asing untuk belajar tentangnya. Karena faktanya, tidak mudah mendialogkan keislaman dan kenegaraan, seperti dilakukan oleh NU di Indonesia.
            Keberanian NU menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya menjadi langkah yang sangat progresif waktu itu dalam Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984.[12] Bahkan secara tegas NU menyatakan NKRI harga mati. Sesuatu yang tidak mudah diterima oleh kalangan Islam Fundamentalis dan Radikal dari dulu hingga kini. Dalam perjalanannya selalu ada gesekan-gesekan pertentangan antara kelompok NU dan kelompok mereka. Mereka selalu mengatasnamakan puritanisme, sedangkan NU berpikiran jauh ke depan dalam rangka menjaga masa depan Islam Indonesia sebagai sumber inspirasi dan role model peradaban Islam dunia.[13] Sepertinya, NU memang sudah mampu menyedot perhatian publik dunia, sehingga pergeseran tentang studi Islam banyak berarah ke Indonesia. Jika dulu ada yang hendak belajar Islam pergi ke Timur Tengah, kini keberislaman di Indonesia lebih seksi dan menarik dari pada dinamika keislaman di Timur Tengah yang dari hari ke hari mengalami kemunduran.
            Pergeseran studi keislalaman ini menjadi penanda adanya gerakan dinamis pemikiran keislaman di Indonesia, yang banyak dimotori oleh intelektual NU sebagai ormas mayoritas. Pemikiran Islam Nusantara meneguhkan dinamisnya dinamika wacana keislaman di tubuh NU. Lebih dari itu, Islam Nusantara ini menjadi gerakan dakwah NU, sebagai komitmen meneguhkan keadaban Islam sebagai agama rahmatal lil ‘alamin, sekaligus menegakkan keadaban Indonesia sebagai negara multikultural, yang harus menjunjung tinggi semangat persatuan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.[14] NU terus berkomitmen dan konsisten menjadi ormas pejuang Islam dan penjaga NKRI, guna menghadirkan kehidupan khaira ummah yang ta’muruna bila ma’ruf dengan cara ma’ruf dan tanhauna ‘anil munkar dengan cara tidak munkar.

Tantangan Masa Depan
            Kehadiran Islam Nusantara sebagai pemikiran keislaman yang dihadirkan sebagai gerakan dakwah merupakan respons NU terhadap persoalan-persoalan mendasar dunia Islam hari ini. Terutama berkaitan dengan kekerasan dan dialog Islam dengan negara, seperti banyak terjadi di Timur Tengah. Sejak revolusi Tunisia, hingga kini keberadaan rakyat di Timur Tengah masih kurang aman dan nyaman. Mesir yang selama ini kita anggap sebagai inspirasi peradaban Islam tak juga mampu menghadapi persoalan politik yang mendera negerinya. Kini mereka harus menata kembali masa depan negerinya. Fakta ini sebenarnya mempertegas bahwa dialog Islam dengan negara tak pernah selesai, kendati wacana tersebut sudah lama berkembang dalam pemikiran umat Islam.
            Lebih dari itu, dalam bentuk yang lebih ekstrem kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sebagai gerakan pendirian negara Islam telah memantik respons sangat tidak baik dari dunia lantaran tindakan yang dilakukannya mengguncang nurani kemanusian kita.[15] Betapa kekacauan yang terjadi di Iraq dan Syiria telah berada puncak yang sangat mengerikan. Korban tindakan brutal ISIS bukan saja dari kalangan non-Muslim, tetapi juga banyak dari umat Islam sendiri. Tindakan-tindakan teror yang dilakukan ISIS tidak saja terjadi di Timur Tengah, bahkan sampai di Eropa hingga di Indonesia, seperti Bom di Paris,[16] Bom Sarinah di Jakarta, dan Bom di Brussels.
            Persoalan-persoalan ini tak saja menjadi masalah kita hari ini, namun juga sangat mungkin berkembang dalam gerakan yang dinamis di masa depan. Karena kehadiran modernitas dan globalisasi, telah melahirkan kehampaan spiritual di mana banyak orang frustasi hingga kemudian lari mencari kepuasan spiritualitas pada kesalahpahaman jihad dengan perang. Hal ini sebenarnya juga didukung oleh digitalisasi informasi dan arus cepat pergerakan pemikiran sebagai efek dari kehadiran globalisasi. Sehingga ujungnya, yang terseret ke ruang hampa dan gelap modernitas adalah hilangnya semangat kesejahteraan bersama dan humanisme transendental sebagai landasan keberislaman yang sejati, di mana hal tersebut terus dipraktikan oleh para pelaku gerakan Islam Nusantara sebagai realisasi dari misi besar Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam.
            Karena itu, secara mendasar dalam hal ini tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam sedikitnya ada empat.
Pertama, gelombang besar gerakan terorisme. Persoalan ini tidak klise. Meski sudah lama mendera citra Islam, sampai kini reproduksi gerakan terorisme terus dilakukan dan berkembang sedemikian rupa. Para pelakunya semakin berkembang kendati telah banyak yang tertangkap dan dieksekusi mati. Meninggalnya dedengkot gerakan terorisme seperti Osama bin Laden tak juga menciutkan nyali pelaku terorisme untuk tidak lagi melakukan kekacauan atas nama agama.[17] Kemunculan-kemunculan teror, baik di dalam ataupun di luar negeri selalu dikaitkan dengan Islam. Islam seolah menjadi penyumbang pebantaian mansuia tertinggi. Sedangkan pada yang sejati, Islam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada manusia sebagai landasan ajarannya.
            Gerakan terorisme ini menjadi tantangan dan musuh besar Islam sendiri, apalagi pelakunya banyak dari umat Islam sendiri. Dari waktu ke waktu gerakan mereka semakin masif, bahkan dari segi pendanaan dan persenjataan mereka semakin besar dan maju. Sebagai contoh mutakhir, keberadaan ISIS dengan ragam persenjataan yang dimilikinya mempertegas betapa gerakan terorisme yang lahir dari landasan jihad ataupun pendirian negara Islam semakin kokoh. Karena itulah, sebagai pembawa pesan rahmat dari Nabi dengan misi besar hadirnya Islam sebagai penegak rahmat bagi semesta alam, maka NU melalui gerakan Islam Nusantara harus mampu memainkan peran yang baik dalam melawan gerakan terorisme kelompok radikal dan fundamentalis.
            NU melalui Islam Nusantara sebagai basis gerakannya, sejak awal telah menjadi peneguh hadirnya wajah Islam yang ramah dan mampu menghargai keragaman sebagai kehendak Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Kehadiran ragam agama harus menjadi pelecut semangat bagi umat Islam dalam upaya berlomba-lomba menegakkan keyakinan kebenarannya. Agar agama tidak pasif, melainkan dinamis menjadi realitas sosial yang membumi dalam masyarakat. Ajaran-jaran Islam Nusantara yang menjadi komitmen NU, seperti tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), dan tawasut (moderat), merupakan gerakan dinamis guna merealisasikan hadirnya kehidupan umat yang harmonis. Latar belakang apapun yang melekat dalam diri masing-masing tidak perlu dipersoalkan. Kita hanya butuh berpikir soal latar depan, yakni kehidupan harmonis, dalam bingkai keragaman yang besar.
Kedua, gerakan masif  khilafah Islamiyah. Sebagai gerakan transnasional, khilafah Islamiyah yang didirkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani menjadi tantangan besar bagi umat Islam di tengah masifnya gerakan fundamentalisme Islam. Pasalnya tidak sederhana, melihat kondisi umat Islam kini sudah terpetak-petak dalam sebuah negara, yang mengharuskan setiap warga negara harus menghargai keragaman agama dan budaya. Apalagi dalam konteks Indonesia, tentu saja kehadiran khilafah Islamiyah, yang dalam konteks Indonesia bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menjadi persoalan mendasar karena berkaitan dengan integrasi kebangsaan.[18]
NKRI dengan dasar Pancasila dan konstitusi UUD 1945 telah final dan menjadi komitmen NU dan ormas-ormas moderat lainnya. Bahkan NU menjadi satu-satunya ormas Islam yang pertama kali menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya. Penerimaan NU terhadap Pancasila, yang oleh kelompok HTI dianggap sebagai hukum thaghut, sejatinya menandakan progresifitas dan kedewasaan berpikir intelektual NU dalam melihat realitas dan tantangan umat Islam.
Karena itu, kita tidak bisa berandai ke masa lalu, menghendaki kehadiran kekuasaan tunggal dalam Islam, sedangkan konsep khilafah Islamiyah jika merujuk pada masa lalu umat Islam belum jelas alias abu-abu. Karena setiap kepemimpinan khilafah Islamiyah memiliki konsep yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.[19] Apalagi kemunculan konsep negara secara terpaksa membuat umat Islam terpisahkan secara teritorial. Karena itulah, membayangkan khilafah Islamiyah sejatinya adalah ilusi karena frustasi besar ketidakdewasaan berpikir kelompok khilafah Islamiyah dalam menghadapi realitas dan tantangan zamannya.
Ketiga, arus globalisasi budaya. Kita tidak bisa mengelakkan kehadiran globalisasi dalam ragam bentuknya telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan dunia. Apa yang disebut sebagai borderless world (dunia tanpa batas) oleh Kenichi Ohmae adalah bayangan dunia baru yang mengaburkan batas-batas wilayah, terutama kebudayaan sebagai penanda identitas paling jelas dari sebuah komunitas masyarakat.[20] Karena itulah, di tengah tantangan globalisasi budaya yang semakin menguat, apalagi pasca maraknya digitalisasi media, di mana informasi dalam bentuk teks ataupun visual dapat diakses secara cepat dan sangat mudah. NU sebagai ormas dengan gerakan Islam Nusantara harus bisa memainkan peran yang signifikan dalam menyaring arus globalisasi budaya. Karena jika tida, Indonesia akan menjadi Barat atau Timur Tengah.
Dalam tradisi Islam Nusantara yang berkembang di pesantren, al-muhafadzatu 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, menjadi benteng sekaligus pegangan dalam menghadapi arus globalisasi dan perubahan dunia baru.[21] Prinsip ini sejatinya berakar dari pandangan keislaman ala NU yang sangat ramah terhadap keragaman budaya lokal. Bahkan gagasan Islam Nusantara sejatinya merepresentasikan pandangan lokalitas keislaman yang dibawa ke panggung dunia sebagai cermin baru keadaban umat Islam dalam mendialogkan ajaran Islam, lokalitas, dan negara. Karena itulah, tidak berlebihan jika Islam Nusantara dicanangkan sebagai role model keislaman dunia, di tengah krisis yang melanda umat Islam akibat tidak mampu mendialogkan ajaran Islam dengan ruang dan waktu yang melingkupinya.
Keempat, tersisihnya politik kesejahteraan. Sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi semesta. Islam tentu harus juga hadir sebagai gerakan dinamis yang menyejarah. Salah satunya harus mengambil peran aktif dalam upaya mendorong terwujudnya politik kesejahteraan.[22] Pragmatisme politik yang berkembang dunia, secara khusus dalam konteks Indonesia, sebagai akibat dari hadirnya kapitalisme ekonomi menjadi persoalan mendasar yang harus direspons secara aktif oleh ormas-ormas Islam.  Karena bila tidak, akan terjadi kapitalisme politik, di mana kekuasaan di dominasi oleh kelompok-kelompok super kaya, sehingga kebijakan dikendalikan oleh para kapitalis. Akibatnya kesejahteraan hanya dinikmati segelintir elit politik dan kekuasaan.
Dalam tradisi Islam Nusantara sebagai basis nilai NU, ada nilai ta’adul (keadilan) sebagai prinsip mendasar dalam segala lini kehidupan, tak terkecuali dalam politik kesejahteraan. Nilai keadilan ini menghendaki hadirnya keadilan ekonomi yang terbuka dan didapatkan secara bersama-sama, meski antara yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama. Karena keadilan sendiri memang tidak mensyaratkan kesamaan secara kuantitatif. Tetapi secara subtantif keadilan itu harus mampu menegakkan persamaan. Konkretnya, soal kekayaan rakyat tidak harus sama karena itu berkaitan dengan kerja keras. Tetapi rakyat secara keseluruhan harus mendapatkan akses yang sama terhadap kesejahteraan sehingga mereka juga mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Inilah yang disebut sebagai politik tingkat tinggi (siyasah al-‘aliyah) dalam gerakan NU sebagai ormas Islam terbesar.
Kelima, hilangnya humanisme transendental. Persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia hari ini bahkan hingga jauh ke depan adalah soal pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusian. Semakin masifnya pelanggaran hak asasi manusia, seperti kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kesetaraan gender, bahkan hingga hak kemerdekaan mempertegas jika modernitas tak sepenuhnya mampu menghadirkan paradigma dan tindakan baru yang lebih mencerahkan. Apa yang dialami oleh warga Palestina hingga kini mempertegas meski dunia maju dan humanisme terus disuarakan, tetapi di sisi lain penindasan terus direproduksi sedemikian rupa. Hingga ujungnya berimplikasi pada hilangnya hak kesejahteraan, keamanan, keadilan, pendidikan, politik, dan segenap hak-hak dasar kemanusian.
NU yang hadir dalam gerakan Islam Nusantara sebagai peneguh dari keislaman yang merahmati bagi semesta, memiliki segudang nilai-nilai sebagai landasan dalam menegakkan humanisme transendental. Persoalan kemanusiaan yang terjadi, tak terkecuali bagi non-Muslim, juga merupakan persoalan umat Islam.[23] Karena semua manusia berasal dari Tuhan yang satu, dialah Allah SWT. yang kita yakni kebenarannya. Sehingga sebagai khalifah fil ard, manusia harus mengambil peran aktif dalam upaya menghadirkan terwujudnya hak-hak kemanusian, berupa kebebasan, kesejahteraan, keamanan, keterdidikan, dan keadilan. Bahasa Islam rahmatal lil ‘alamin adalah terwujudnya humanisme transendental sebagai manusia yang sama-sama berasal dari Tuhan yang satu.

Mewujudkan Khaira Ummah
            Upaya NU meneguhkan Islam Nusantara sebagai paradigma keberislaman yang dinamis dan progresif, sebenarnya tak lain dilakukan sebagai realisasi dari konsep khaira ummah yang ditegaskan oleh Allah SWT. dalam teks al-Quran.[24] Umat Islam itu adalah umat terbaik yang dijanjikan oleh Tuhan mampu menegakkan keadaban dan menanggalkan kebiadaban. Bahasa ta’muruna bil ma’ruf dan tanhauna ‘anin munkar dalam konsepsi khaira ummah mengisyaratkan pesan penting tentang kehadiran umat Islam sebagai rahmat bagi semesta. Karena itulah, dalam upaya menegakkan ta’muruna bil ma’ruf, cara-cara yang dilakukan harus konstruktif dan menebar kemaslahatan bagi sesama. Begitu pula  ketika kita menyerukan tanhauna ‘anin munkar, cara-cara yang dilakukan harus tidak destruktif dan tidak melahirkan petaka kemanusian.[25]
Konstruksi khaira ummah ini sejatinya harus dimaknai sebagai pengharapan besar dari Tuhan kepada umat Islam agar ajaran Islam itu bergerak dinamis sesuai konteks zaman dan tempatnya.[26] Karena bila tidak dimaknai sebagai gerakan dinamis, kita akan terjebak pada doktrin kebenaran langit, sebuah keimanan yang statis dan mengawang dalam pikiran. Sedangkan, keimanan yang sesungguhnya adalah keimanan dinamis dengan konstruksi sosial yang beradab dan tercerahkan.
            Karena itulah tokoh seperti Gus Dur, mengambil aktualisasi spirit maqasidu al-syariah sebagai landasan dasar paradigma Islam Nusantara. Aktualisasi tersebut adalah, pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah pada agama lain (hifdzu ad-din). Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Dan, kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk).[27]
            Aktualitas pemikiran Gus Dur ini sebenarnya adalah langkah konkret guna menghadirkan umat Islam sebagai khaira ummah, yang mampu menghadirkan keadaban dan menghindarkan kebiadaban hidup. Itulah tujuan utama dari kehadiran gerakan Islam Nusantara.
Gagasan dan gerakan Islam Nusantara sejak awal kehadirannya, memang menghendaki Islam sebagai world view yang mencerahkan. Sehingga mampu menggerakkan semua orang, tanpa harus melihat latar agama, suku, budaya, dan negaranya, untuk bertindak konstruktif dan menghindarkan tindakan destruktif, seperti dalam konsepsi khaira ummah, guna menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Itu artinya, gerakan yang harus kita lakukan tidak saja dakwah internal bagi sesama Muslim, tetapi juga dakwah universal lintas agama dan negara, sehingga Islam menjadi corong world view internasional. Sebagai realisasi dari konsepsi khaira ummah, yang menegakkan keadaban dan menghindarkan kebiadaban hidup.

Penutup
            Islam Nusantara sebagai sebuah gagasan dan gerakan mengandaikan hadirnya dunia baru yang lebih mencerahkan dan tercerahkan. Landasan dasar yang dibawa adalah misi besar Islam sebagai agama rahmatal lil’alamin guna menjadikan umat Islam sebagai khaira ummah seperti ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al-Quran.
            Tantangan dunia hari ini dan di masa mendatang, seperti terorisme, gerakan transnasional khilafah Islamiyah, arus globalisasi budaya, tersisihnya politik kesejahteraan, dan hilangnya humanisme transendental, mengharuskan umat Islam melakukan gerakan dinamis dan progresif dalam merespon persoalan tersebut. Islam Nusantara sebagai paradigma keislaman yang ditawarkan oleh NU menyajikan seperangkat gagasan dan nilai-nilai keislaman yang dinamis dan progresif dalam merespons persoalan dunia secara bijak.
            Sebagai inspirasi peradaban dunia, Islam Nusantara tak menghendaki eksploitasi pemikiran ataupun paradigma keislaman. Itu artinya, Islam Nusantara tak hendak menusantarakan Timur Tengah, menusantarakan Eropa, ataupun menusantarakan Amerika. Islam Nusantara hanya menawarkan konsepsi paradigama keislaman yang progresif dan dinamis melalui dasar Islam sebagai rahmat, dengan konteks masing-masing daerah, negara, dan kondisi sosial budaya masyarkat setempat. 

Daftar Pustaka
Ahmad, Rumadi. “NU, dari Sunatara untuk Dunia”. Kompas, 31 Juli 2015.
Al-Amin, Ainur Rafiq. “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”,  Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005.
Athyal, Jesudas M. Religion in Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures. California: ABC-CLIO, 2015.
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundametalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Fachruddin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Alvabet, 2006.
Hanafi, Hassan. Pandangan Agama tentang Tanah; Suatu Pendekatan Islam. Prisma 4, 1984.
Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktua. Jakarta: Serambi, 2014.
Koran Online, www.eramuslim.com, “Habib Rizieq: Inilah Kesesatan Jemaat Islam Nusantara (JIN)”, diakses tanggal 1 April 2016.
Laffan, Michael. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015.
Masduri. “Meramal Masa Depan ISIS”. Banjarmasin Post, 18 November 2015.
_______. “NU Benteng Keutuhan Negara,”. Jawa Pos, 1 Februari 2016.
Misrawi, Zuhairi. “Meneguhkan Islam Nusantara”. Kompas, 1 Agustus 2015.
_______. “Proliferasi NIIS”. Kompas. 6 Agustus 2014.
_______. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: Kompas Gramedia, 2010.
Moesa, Ali Maschan. NU, Agama, dan Demokrasi. Surabaya: Pustaka Dai Muda, 2002.
Ohmae, Kenichi. The Borderless World Power and Strategy in The Interlinked Economy. New York: MacKinsey & Company  Inc, 1990.
Ridwan. Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Rumadi. Post-tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU . Cirebon: Fahmina Institue, 2008.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet, 2012.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspiras. Bandung: Mizan, 2006.
Sutrisno, Budiono Hadi. Sejarah Walisongo: Misi Pengislaman Jawa. Yogyakarta: Grha Pustaka, 2007.
Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008.
_______. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Zahro, Amad. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999. Yogyakarta: LKiS, 2004.



[1] Tulisan ini adalah pengantar dalam diskusi yang dihelat oleh Indonesia Belajar Institut (IBI) pada, Jumat, 27 Mei 2016, di Angkringan 57 Surabaya, jl. Jemurwonosari Lebar. Tulisan ini masuk sebagai salah satu tulisan yang terbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) secara berampai berjudul: “Islam Nusantara, Inspirasi Peradaban Dunia”.
[2] Mahasiswa Magister Filsafat Agama Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
[3] Zuhairi Misrawi, “Meneguhkan Islam Nusantara”, Kompas, (1 Agustus 2015), 1.
[4] Diantara sekian penentang Islam Nusantara adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Sihab. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara) merupakan paham yang sesat dan menyesatkan, serta bukan dari ajaran Islam, sehingga wajib ditolak dan dilawan serta diluruskan. Baca dalam, Koran Online, www.eramuslim.com, “Habib Rizieq: Inilah Kesesatan Jemaat Islam Nusantara (JIN)”, diakses tanggal 1 April 2016.

[5] NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sedangkan praktik keagamaan ala NU sudah ada jauh sebelum itu. Lihat dalam, Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010 ), 285. Dalam tulisan Martin van Bruinessen kemunculan NU sebagai ormas Islam lahir karena desakan kaum reformis Islam, sehingga KH. Hasyim Asy’ari menghendaki adanya organisasi yang mampu membentengi tradisi Islam yang sudah lama berkembang di Indonesia. Baca dalam, Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), 26. Dalam catatan lain, menurut Michael Laffan, kehadiran NU merupakan upaya membentengi tradisi Islam ala Sunni yang sudah disepakati oleh ulama-ulama Islam masa lalu, keberislaman ala Sunni ini begitu menghargai keragaman budaya. Lihat dalam, Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015), 252.

[6] Keberhasilan pengislaman di Jawa merupakan bentuk siasat kultural berbasis kecerdasan spiritual yang dilakukan Wali Songo, sehingga Islam hadir sebagai agama dinamis dan progresif sesuai ruang dan waktunya. Baca dalam, Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo: Misi Pengislaman Jawa (Yogyakarta: Grha Pustaka, 2007), 230.

[7] Meski sebagai organisasi penjaga tradisi, NU tetap berpikiran progresif sebagai respons terhadap dinamika zamannya. Baca dalam, Rumadi, Post-tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU (Cirebon: Fahmina Institue, 2008), 327.

[8] NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang besar merupakan aset berharga bangsa Indonesia. Karena NU bisa menjadi benteng keruntuhan negara yang selama ini sering dirusak dan dirong-rong oleh sebagian masyarakat ataupun organisasi keagamaan. Karena itulah, secara serius NU harus terus berperan aktif dalam menjaga keutuhan NKRI. Komitmen NU menjadikan NKRI sebagai harga mati harus benar-benar mengakar dalam setiap gerakannya. Sehingga semua warga NU dan umat Islam secara umum benar-benar merasa memiliki terhadap NKRI dan menjaganya dengan baik. Karena bagi NU, yang paling penting bukan bentuk negaranya, tetapi bagaimana peran negara terhadap kesejahteraan rakyat. Sehingga dengan demikian, NU secara konsisten harus terus mendukung keberlanjutan masa depan NKRI, agar cita-ciata mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur dapat terwujud. Baca dalam, Masduri, “NU Benteng Keutuhan Negara,” Jawa Pos (1 Februari 2016), 4.
[9] Tema Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, di Jombang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi keberislaman, bukan hanya inward looking, melainkan juga outward looking. NU tidak hanya didedikasikan untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia. Lihat dalam, Rumadi Ahmad, “NU, dari Sunatara untuk Dunia”, Kompas, (31 Juli 2015), 6.
[10] Percaya kepada Tuhan sebagai Zat Pencipta, tidak cukup hanya dalam hati, tetapi harus diwujudkan secara konkret dalam tindakan nyata. Agar kehadiran agama Islam tidak hampa sebagai jalan hidup (way of life) yang mencerahkan. Teologi sebagai sebuah konsep keyakinan keagamaan, hadir melalui ungkapan tafsir para teolog, yang didorong oleh tuntutan kemanusiaan serta kebutuhan masyarakat. Bagi Hanafi, sejarah teologi adalah sejarah proyeksi dan keinginan manusia untuk masuk ke dalam kitab suci, dengan menggantungkan keinginan dan kebutuhan hidupnya. Baca dalam, Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah; Suatu Pendekatan Islam (Prisma 4, 1984), 39.
[11] Misrawi, “Meneguhkan Islam Nusantara”.., 7.  
[12] Pancasila adalah objektivikasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan sosial. Sikap inilah yang dipegangi Nahdlatul Ulama, sehingga Pancasila diterima sebagai asas organisasinya. Baca dalam, Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014), 287.

[13] Jesudas M. Athyal,  Religion in Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures (California: ABC-CLIO, 2015), 201.

[14] Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Jakarta: Alvabet, 2006), 89.

[15] Sebagai sebuah gerakan, ISIS/NIIS sudah lama menjadi bahan perbincangan publik internasional. Sejak berdiri pada 2013, SIS/NIIS langsung menjadi kelompok yang kontroversial di dunia Arab dan dunia Barat. Pasalnya, ISIS/NIIS menjelma sebagai gerakan politik yang solid dan punya sokongan dana yang kuat. Eksistensi ISIS/NIIS ditengarai lebih berbahaya daripada jaringan internasional al-Qaeda karena mereka mempunyai ”tanah air” dan basis yang punya legitimasi politik. ISIS/NIIS hadir pada momentum yang tepat, saat negara-negara Arab sedang mengalami transisi demokrasi akibat angin kencang revolusi. Baca dalam, Zuhairi Misrawi, “Proliferasi NIIS”, Kompas, (6 Agustus 2014), 7.

[16] Teror yang melanda Prancis menggetarkan dunia. Berbagai macam simpati dan empati dihadirkan untuk Prancis. Teror di Prancis sebagai tragedi kemanusian telah menciptakan sketsa luka yang mendalam, sehingga energi yang dikirimkan begitu mudah menyentuh ke belahan negara lain. Apalagi sebagai tragedi kemanusian, peristiwa teror yang terjadi di Prancis sangat mungkin diduplikasi oleh pejuang ataupun simpatisan State of Iraq and Syria (ISIS) di negara lain, termasuk di Indonesia. Sehingga peristiwa teror di Prancis bukan saja mengirimkan luka yang mendalam, tetapi juga ketakutan yang mendalam. Karena meminjam bahasa Kenichi Ohmae, globalisasi telah menciptakan dunia tanpa batas, sehingga interaksi dengan berbagai belahan dunia mudah terjadi dan benih-benih terorisme bisa tumbuh dan berkembang baik dengan mudah. Baca dalam, Masduri, “Meramal Masa Depan ISIS”, Banjarmasin Post, (18 November 2015), 13.
[17] Osama bin Laden meninggal pada 1 Mei 2011, kesulitan intelijen Amerika Serikat menumpas Osama karena ia banyak dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah. Baca dalam, Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Alvabet, 2012), 81.
[18] Ainur Rafiq al-Amin, “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2, (2005), 110-115.

[19] Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 150.

[20] Kenichi Ohmae, The Borderless World Power and Strategy in The Interlinked Economy (New York: MacKinsey & Company  Inc, 1990),18.
[21] Islam Nusantara sebagai pemikiran yang berakar dari tradisi pesantren, tentu sangat menjujung tinggi semangat al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Baca dalam, Ali Maschan Moesa, NU, Agama, dan Demokrasi (Surabaya: Pustaka Dai Muda, 2002), 231.

[22] Sebagai ormas yang pernah menjadi partai politik NU tentu sadar betul bagaimana pergulatan dunia politik praktis, karena itu ketika NU meneguhkan diri kembali ke Khittah 1926, NU secara konsisten memainkan politik tingkat tinggi, yakni politik kesejahteraan sebagai penegas dari kehadiran negara yang mampu melindungi kehidupan rakyatnya. Baca dalam, Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 147.

[23] Ukhuwah Basyariah atau persaudaraan berdasar kemanusian merupakan nilai keislaman yang sangat dijunjung tinggi oleh NU, sebagai dasar membangun harmoni kebersamaan. Baca dalam, Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), 469.

[24] “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Imran: 110).
[25] Amad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 24.
[26] Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 223.
[27] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...