Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[2]
Bismillah walhamdulillah. Saya sampaikan terimakasih kepada
Bung Libas telah menanggapi tulisan saya. Saya merasa perlu untuk memberikan
beberapa tanggapan balik kendati ini terlambat. Meski sebenarnya saya tidak
sesibuk Bung Libas. Jadi, bukan karena alasan kesibukan tulisan tanggapan balik
ini baru muncul.
Lepas dari setuju atau
tidak dengan tulisan saya, saya mencermati Bung Libas ‘terburu-buru’ menstigma sebelum
menuntaskan diskusi dan mendalami topik yang sedang diuji argumentasinya.
Sepanjang sejarahnya, Hizbut Tahrir (HT)
konsisten untuk konsen dengan adu argumentasi ilmiah, bukan dengan kekerasan
atau main larang bicara yang hanya mengAndalkan logika kekuatan. Saran saya
simpan dulu stigma Anda, mari buka diskusi dan perdebatan ilmiah. Sehingga kalaupun
Anda tetap pada pendiriannya, setidaknya di antara kita akan ada tafahum.
Sebenarnya beberapa
persoalan yang Anda ragukan terkait ketidakmungkinan unifikasi atas dasar
Islam, konsep khilafah yang sumir –bahkan di awal Anda menyebut konsep HT
sebagai negara ‘kartun’ yang absurd (cloud cucko land)–, telah disajikan HT
secara argumentatif dalam terbitan-terbitannya. Sistem Khilafah masih perlu didetilkan,
tulisan saya yang Anda tanggapi jelas tidak ditulis untuk menguraikan detil-detil
sistem Khilafah itu. Dan detil sistem Khilafah itu, bukan hanya soal suksesi
semata. Tapi juga tentang bentuk dan struktur pemerintahan, sistem ekonomi,
politik luar negeri, hingga rancangan undang-undang, semuanya telah disajikan
oleh HT untuk dikaji sebagai solusi alternatif bagi tatanan dunia yang
materialistis, liberal, kapitalistis dan sekuler ini.
Baiklah, tidak
berlama-lama, saya coba menanggapi balik beberapa poin dari tanggapan Bung
Libas atas tulisan saya:
“Yang jadi masalah, konsep yang diajukan Bung Jauhar
tidak sama sekali melihat posisi umat selain Islam yang sama-sama membentuk
Republik, dan hanya melihat Indonesia ini dari kacamata Islam yang –kebetulan–
mayoritas di Indonesia. Negara Indonesia amat jauh berbeda lahirnya dengan
situasi negara-kota ala Nabi yang memang perjuangan menempuh kemuliaan itu
sepenuhnya andil Islam. Di Indonesia, Hindia Belanda, Cita-cita merdeka itu
lahir sebab kulit kuning, kulit putih, menindas kulit coklat. Sehingga orang
non-Islam juga sama-sama punya andil dalam proses memerdekakan negara. Dalam
tataran ini, bagi saya, konsep Dzimmi tidak bisa berlaku di Indonesia. Jadi,
kita tidak bisa serampangan begitu saja membentuk negara seluruhnya Islam dan
melupakan andil mereka. Akan ditaruh mana “muka” kita sebagai seorang muslim?”
Tanggapan:
Pertama, saya kira perlu dibedakan antara perjuangan mengusir
penjajah dengan proses membentuk negara. Mengapa? karena secara faktual ia
adalah dua aktifitas yang berbeda, tuntutannya pun berbeda. Perjuangan untuk
mengusir penjajah adalah perang fisik. Sedangkan mendirikan negara adalah
aktifitas politik dan pemikiran. Inilah mengapa aktifitas Bung Karno dan Bung
Hatta adalah aktifitas politik, mendirikan partai, melakukan kontak-kontak ke
perwira Jepang, mengkader, menulis dan menyebarkan pemikiran untuk membentuk
opini publik. Dia tidak terlibat dalam perang fisik.
Kedua, melawan penjajah dan mempertahankan negeri merupakan respon
naluriah. Secara naluriah manusia akan mempertahankan klan, suku dan bangsanya serta bumi tempat dia tinggal. Terutama penampakannya akan menguat apabila
ada ancaman yang datang dari luar. Semisal, invasi dari orang asing. Memang
benar semua elemen penduduk negeri yang mengangkat senjata melawan penjajah
punya andil apapun warna kulit dan keyakinannya. Namun, ketika berbicara untuk
mendirikan negara jelas membutuhkan landasan rasional, bukan sekedar emosional.
Oleh karena itu, pembicaraannya akan menyangkut sesuatu yang lebih konseptual,
yang di sana mengkaji apa yang benar untuk dijadikan sebagai dasar bagi
berdirinya negara. Disinilah letak perdebatan para perumus negara, mereka
mendebatkan apa yang benar untuk dijadikan dasar negara, yang nantinya akan
melahirkan bentuk pemerintahan dan perundang-undangan.
Pada titik ini, mestinya
tidak lagi bicara andil, siapa yang lebih banyak berkorban, siapa yang lebih
banyak tertumpah darah. Karena titik persoalannya adalah manakah konsep negara
yang benar yang bisa mengantarkan pada cita-cita kehidupan yang mulia. Tidak
tepat juga bila diambil jalan kompromi. Katakanlah orang sosialis ikut
berperang, orang Islam dan pemeluk agama lain juga ikut berperang, orang
sekuler juga ikut berperang. Karena semua ikut berperang marilah kita buat
konsep gado-gado yang mengkombinasikan semua keyakinan orang yang ikut
berperang. Jelas ini adalah cara berpikir yang keliru, karena tidak dibangun
dari rasio, dalam arti tidak dengan mengkaji dan membuktikan manakah di antara
keyakinan atau konsep itu yang benar. Sosialis-kah, Islamis-kah, Sekuleris-kah,
Kristen-kah, Hindu-kah, misalnya. Itu pun jika Kristen dan agama-agama yang
lain selain Islam memiliki konsep untuk mengatur urusan pemerintahan, ekonomi,
politik luar negeri dst.
Ketiga, dalam kasus Indonesia, konsep yang akhirnya menang adalah
konsep negara bangsa. Maka, ketika dewasa ini ada pengujian terhadap kelayakan
dan kesahihan konsep negara bangsa
adalah hal yang sah-sah saja, jika memang penguji itu mampu menghadirkan konsep
lain yang lebih baik. Nah, jika kemudian Anda menuduh sebagai pengkhianat para founding fathers, para pahlawan yang
telah memerdekakan negeri ini? Bukankah rakyat Indonesia menggulingkan Soekarno
yang notabene dia adalah founding fathers?!. Rakyat menentang Nasakom,
tafsiran Soekarno atas Pancasila. Padahal Soekarno-lah salah satu perumusnya.
Apakah kita sudah dalam taraf mensakralkan dan memutlakkan suatu konsep yang
perumusnya adalah manusia yang memiliki kemungkinan salah? Bahkan sekalipun
konsep negara bangsa ini dipercayai oleh banyak orang, belum tentu itu adalah
konsep yang benar. Dalam kacamata Islam, benar tidaknya konsep tidak diukur
apakah konsep itu disepakati oleh kebanyakan manusia ataukah tidak. Bahkan,
sesuatu yang dibenci oleh seluruh manusia belum tentu merupakan kekeliruan
dalam Islam. (lihat QS. Al Baqarah 216).
Keempat, saya kira Anda tidak tepat menjelaskan pembentukan negara
Madinah. Fakta Madinah bukanlah negara yang homogen. Agama penduduk aslinya
bukanlah Islam. Penduduknya beraneka ragam suku dan keyakinan. Sebelum datang
Islam hingga Islam memimpin, Madinah adalah negara-kota yang heterogen. Maka
jika menggunakan logika Anda mestinya apa yang dilakukan oleh Nabi adalah
serampangan dengan membuat negara berdasarkan Islam, yang menafikan penganut
agama lainnya yang notabene juga
penduduk asli Madinah. Oleh karena itu, orientalis ada yang mengatakan bahwa
Nabi memang mendirikan negara tapi mereka mengingkari negara yang Nabi dirikan
adalah negara Islam. Nabi mendirikan negara sekuler, mereka menjadikan Piagam
Madinah sebagai bukti.
Maka di sini penting
mengkaji bagaimana bentuk sekaligus cara Nabi sebagai satu-satunya uswah dalam membangun negara. Sirah Nabi
adalah bagian dari tingkah laku Nabi dan ia adalah sunnah sebagaimana ucapan
dan diamnya. Oleh karena itu, An Nabhani[3]
mengkaji perjalanan dakwah Nabi lalu merumuskan tahapan dan tata cara membangun
Negara Islam sesuai dengan metode Nabi dalam menegakkan negara di Madinah. Pada
kesempatan lain jika perlu kita diskusikan.
“Tidak ada statement tegas
dari Nabi, bagaimana seorang harus menjadi Khalifah (pengganti)-nya. Saya rasa Anda
juga tahu, bahwa masalah pemimpin dalam Islam menembus jalur Khilafiyah. Jadi,
mewajibkan Khilafah sebagai satu-satunya konsep yang “diridhoi” Allah, bagi
saya merupakan suatu pandangan yang keliru.”
Tanggapan:
Jika yang Anda maksud
adalah tidak ada aturan baku bagaimana seorang bisa menjadi khalifah maka Anda
keliru. Nabi SAW menjelaskan, metode baku untuk mengangkat seorang khalifah
adalah dengan baiat dari umat.
Artinya seorang tidak sah menjadi khalifah kecuali mendapat baiat dari umat. Adapun jika yang Anda
maksud adalah mekanisme pengambilan baiat,
atau dengan kata lain prosedur dalam pemilihan khalifah. Maka, dalam hal ini
memang terdapat beberapa cara. Maka dari itu perlu dibedakan mana metode yang
bersifat baku dengan mana soal prosedur teknis yang bersifat kondisional.
Di Indonesia sendiri
pemilihan presiden pernah dipilih melalui parlemen sebelum berubah menjadi
mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Tapi tidak ada yang mengatakan bahwa
Indonesia telah mengalami perubahan sistem, Indonesia tetap menggunakan sistem
demokrasi. Nah, dalam Islam, seorang sah menjadi Khalifah manakala mendapat baiat dari umat. Adapun mekanismenya
khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi
dari khalifah sebelumnya seperti Umar, atau melalui suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model itu absah digunakan pada kondisi yang tepat.
Kesimpulan tersebut
diambil dari ijma’ Sahabat sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Dari pernyataan Anda bahwa “tidak ada statement yang tegas dari Nabi, bagaimana seorang harus
menjadi Khalifah-nya”, tidak otomatis bahwa Islam tidak memiliki model
suksesi. Mengapa pada pernyataan ini Anda tiba-tiba begitu tekstualis? Jadi,
jika Anda menyimpulkan ketidakwajiban khilafah dari ketiadaannya tatacara
teknis yang baku untuk menjadi khalifah maka ini adalah kesimpulan yang
gegabah. Lebih jauh sebagaimana Anda menyimpulkan dalam pernyataan Anda
berikut:
“Tapi sebagaimana Anda
tahu, setelah nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal, oleh karenanya juga
berlaku bahwa kepemimpinan sudah tidak bisa ditunggalkan hanya kepada satu
orang manusia yang tidak ma’shum. Ini berarti, umat Islam berhak memilih dan
menentukan bentuk dan sistem negaranya sesuai nilai-nilai kontekstualitas Islam
berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang didiaminya. Dengan kata lain,
sistem kekhalifahan sebagai produk pasca nabi, posisinya secara teori tidak
lebih dari masalah ijtihad. Sebab tidak terdapat nash pasti sebagaimana
pastinya masalah, puasa, zakat, zina, dan lain-lain.”
Tanggapan:
Pertama, pernyataan Anda bahwa “setelah
nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal” adalah menyelisihi fakta. Faktanya,
setelah Nabi, umat Islam tetap memiliki otoritas tunggal dalam mengatur urusan
mereka, yaitu berada di tangan Khulafaur
Rasyidin. Otoritas mereka tidak mensyaratkan mereka harus ma’shum karena tugas mereka adalah
melanjutkan tugas Nabi dalam ri’ayah
as-syu’un al-ummah, tidak dalam posisi melanjutkan kerasulan dan kenabian.
Jadi, kapasitas khalifah adalah sebagai kepala negara yang melakukan tathbiq terhadap hukum-hukum syariah dan
mengatur urusan masyarakat dalam semua dimensinya; politik dalam dan luar
negeri, ekonomi, pendidikan, dan seterusnya. Oleh karena itu, Khilafah bukanlah
negara teokrasi.
Kedua, dari kenyataan bahwa tidak ada lagi manusia yang ma’shum lantas Anda menarik kesimpulan
bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan sistem pemerintahan tertentu jelas ini
adalah kesimpulan yang lebih gegabah lagi. Pasalnya, jabatan khalifah adalah
jabatan manusiawi. Khalifah diangkat melalui baiat dari umat bukan karena mandat Tuhan. Ini adalah pAndangan ahlus sunnah. Khalifah adalah pelaksana
hukum-hukum syariah, ia tidak kebal hukum. Khalifah terikat dengan hukum-hukum
syariah. Karenanya, khalifah bisa dijatuhkan manakala melanggar hukum syariah.
Dalam sistem Khilafah, kedaulatan ada di tangan hukum syara’. As-Siyadatu lis
Syar’i adalah salah satu pilar sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu,
Khilafah adalah negara hukum bukan negara totaliter. Sejarah mencatat seorang
khalifah bisa kalah di meja peradilan dengan seorang Yahudi, rakyat jelata.
Dari sini saja kita dapati mengamati bahwa Islam menentukan dan mengatur
hukum-hukum terkait penguasa dan pemerintahan. Beberapa kitab fiqh juga mengupas topik-topik khusus
terkait rumusan khilafah di antaranya Ahkamus
Sulthaniyyah karya Al-Mawardi,
Ghuyats al-Umam karya al-Juwaini dan as-Siyasah
as-Syar’iyyah karya Ibnu Taymiyah.
Anda keliru jika menyebut
Khilafah adalah produk ijtihad
sahabat (produk pasca Nabi). Khilafah bukan ijtihad sahabat tapi ijma’ sahabat. Jika Khilafah posisinya
sebagai ijtihad sahabat niscaya
Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeda pendapat,
yaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari
kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbedaan
pendapat, tentang siapakah orang yang layak menjadi khalifah. Bukan perbedaan
pendapat Khilafah itu wajib atau tidak. Jadi, Khilafah itu didasarkan pada
kesepakatan semua sahabat (ijma’
sahabat), bukan ijtihad sahabat.
Sedangkan Ijma’ Sahabat adalah sumber
hukum syariah (dalil syar’i) ketiga
setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, terkait wajibnya Khilafah
tidak terjadi ikhtilaf. Sedangkan
dalam hal syarat orang yang sah dan layak untuk menjadi khalifah maka para
ulama’ terjadi perbedaan. Ada yang mensyaratkan syarat in’iqad bagi khalifah adalah berasal dari suku Qurays, sedangkan
yang lain berpendapat Qurays bukanlah syarat in’iqad tapi syarat afdhaliyyah.
Anda menyatakan bahwa
tidak ada nash pasti sebagaimana
pastinya masalah puasa, zakat, zina dan lain-lain. Kembali saya dapati Anda
begitu tekstualis. Sebagaimana yang telah saya singgung di awal, wajibnya
Khilafah sebagai bentuk pemerintahan dalam Islam ditetapkan berdasarkan Sunnah
dan Ijma’ Sahabat. Memang, di dalam
al-Quran tidak didapati istilah khalifah kecuali dipakai dalam bentuk umum
yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 30, dan dalam bentuk agak lebih khusus dalam
surah Shad ayat 26. Namun, Rasul SAW.
telah membatasi penggunaan istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca
Beliau. Nabi SAW. bersabda:
“Dulu Bani Israel diurus
oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang
menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah
para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang
pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan
meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain
Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala
negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi SAW. secara eksplisit menggunakan istilah
khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:
“Jika dibaiat dua orang
khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim)”
Jadi, argumen Anda tidak
mencukupi untuk mengklaim bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan sistem
pemerintahan.
“Saya sangat kesulitan
–karena tidak ada paparan jelas- memahami seluruh dunia (umat muslim)
menyerahkan urusan pemerintahannya dalam satu kepemimpinan tunggal tanpa
melihat realitas geografis, etnografis, bahkan etnisitas suatu bangsa yang
multi-varian dan beragam satu sama lain.”
Tanggapan:
Dahulu juga orang sulit
membayangkan Jerman Barat dan Timur akan dapat bersatu tapi toh akhirnya tembok Berlin runtuh dan
terjadilah persatuan Jerman. Unifikasi umat Islam dalam satu negara bukanlah
suatu hal yang mustahil.
Pertama, karena di dalam Islam tersimpan potensi untuk menjadi
pengikat di antara manusia. Islam memandang seorang Muslim sebagai hamba yang
kedudukannya diukur oleh ketakwaan. Islam tidak membedakan manusia berdasarkan
ras, bangsa dan warna kulit. Islam mempersaudarakan satu Muslim dengan Muslim
lainnya atas dasar kalimat Tauhid. Sejarah telah membuktikan, Islam menjadi
unsur pemersatu bangsa-bangsa yang tiada bandingnya. Penerapan Islam selama
berabad-abad oleh para Khalifah, dengan kekuasaan yang membentang sepanjang
wilayah yang sangat luas, sebuah negara yang dihuni oleh orang-orang yang
berbeda warna kulitnya, bahasanya, agamanya dan suku bangsanya. Hal ini bahkan
diakui oleh seorang sejarawan Arnold
Toynbee, dia menulis dalam bukunya A
Study of History: “Punahnya kesadaran (sentimen) ras sebagaimana yang
terjadi di antara Muslim, merupakan salah satu prestasi Islam, dan dalam dunia
kontemporer ini ada kebutuhan yang amat mendesak untuk menyebarkan nilai-nilai
Islam ini.” Sejarawan lain, Dr. William
Draper menyatakan: “Selama masa
Khilafah, kalangan terpelajar dari kaum Nasrani dan Yahudi tidak hanya
mendapatkan penghargaan yang tinggi, tetapi mereka bahkan diangkat menduduki
jabatan-jabatan dengan tanggung jawab yang besar dan dipromosikan ke posisi
yang tinggi di pemerintahan... Dia (Khalifah Harun ar-Rasyid) tidak pernah memandang
dari mana orang terpelajar itu berasal, atau agama dan keyakinannya, melainkan
dari kecakapannya dalam bidang keahliannya.”
Kedua, sebenarnya persoalannya adalah mewujudkan sebuah visi
politik. Dalam kasus Indonesia, visi nasionalisme Indonesia mampu menyatukan
suku-suku yang beraneka ragam budaya dan latar geografis dalam satu payung
politik. Pada sisi lain, kita dapati di dalam satu kepulauan Kalimantan, yang
secara geografis dan etnografis relatif tidak berbeda justru berdiri tiga
negara. Aceh dan Sumatera notabene
adalah sama secara ras dengan Malaysia. Akan tetapi penduduk Sumatera dan
Malaya terpisah dalam dua payung politik. Sedangkan Sumatera dengan Papua, yang
mereka berjauhan secara etnis dan budaya bisa bersatu dalam satu payung
politik. Jadi, persoalannya adalah mewujudkan visi politik. Sehingga meski
berbeda latar geografis, etnografis dan etnisitas, tidak menghalangi manusia
untuk bersatu. Nah, Islam jelas layak, bahkan bukan hanya layak tapi juga
satu-satunya ikatan yang sahih untuk
dijadikan sebagai ikatan politik bagi manusia. Demikianlah yang dilakukan
Rasulullah SAW dengan mewujudkan visi politik Islam di Madinah, yang menyatukan
keragaman dan menghentikan pertikaian antar kabilah.
Ketiga, jika kita mengamati perkembangan pola hubungan manusia
modern justru mengarah pada unifikasi, yang menerabas batas-batas negara
bangsa. Pada abad 21 ini menunjukkan adanya peningkatan interdependensi (saling
ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi menjadikan
dunia sebagai “desa global” (global
village). Perkembangan di mana pun dapat diikuti oleh siapa pun di pelosok
dunia mana pun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh negara
bangsa menjadi kurang berarti. Berbagai penyatuan bangsa pun terjadi.
Negara-negara Eropa membentuk Uni Eropa, menyatukan mata uang ke dalam mata
uang bersama Euro. Globalisasi menyatukan dunia dalam sistem moneter, standart mata uang, penanganan penyakit,
isu-isu lingkungan hidup, dst. Karenanya, persoalannya bukanlah pada
penyatuannya, tapi apakah Kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar
kebersatuan dunia. Padahal, Kapitalisme global telah melahirkan pemborosan
sumber daya alam, perusakan lingkungan, tercerabutnya kearifan lokal, krisis
kemanusiaan dan terjadinya penjajahan ekonomi di mana-mana. Dewasa ini, di
mana-mana orang mencari alternatif. Dunia jelas membutuhkan alternatif paradigma
baru. Disinilah sistem Khilafah dan syariah Islam akan menjadi alternatif
pemecahan praktis permasalahan dunia. Memberikan arah dan makna kehidupan
dengan paradigma yang tepat.
“...tidak ada kelompok
Islam mayoritas yang menolak mutlak pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia.
Mereka meyakini, proses pemberlakuannya mesti secara perlahan dan sesuai
prosedur yang ada di Indonesia. Ini tidak lain, Semata untuk menghindari perang
saudara sebagaimana pemaksaan banyak ide dan konsep di Timur Tengah dan Afrika.”
Tanggapan:
Saya sepakat, kelompok
Islam mestinya menjadikan pemberlakuan syariat Islam sebagai agenda utama.
Sebagaimana di awal saya katakan terkait cara untuk memberlakukan syariat
Islam, atau secara lebih umum cara untuk melakukan perubahan ini perlu
didiskusikan dalam topik khusus.
Karenanya saya tidak fokus pada hal tersebut. Hanya saja, Anda melakukan
oversimplifikasi terhadap konflik yang terjadi di Timur Tengah.
“Melihat realitas ini,
tentu dapat kita nyatakan bahwa sebenarnya isu Khilafah tidaklah mendapat
posisi sentral dalam perjuangan politik Umat Islam di Indonesia, terlebih lagi
di wilayah Timur Tengah.”
Tanggapan:
Memang benar, pada
akhirnya isu Khilafah berangsur-angsur hilang dan tergantikan oleh perjuangan
nasionalisme. Tapi, yang hendak saya tekankan pada tulisan saya yang pertama
adalah bahwa realita sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia pernah diwarnai
dengan ide penegakkan Khilafah kembali sebagai respon atas penghapusan Khilafah
Utsmani. Meskipun begitu, bagaimanapun juga realita sejarah bukanlah dalil yang
bisa digunakan untuk membenarkan atau menolak perjuangan penegakan Khilafah di
masa kini atau di masa yang akan datang. Ia hanyalah suatu realita yang harus
dibaca apa adanya tanpa harus ditutup-tutupi.
“...bagaimana mungkin
menyatakan negara federal tidak sesuai dengan Islam? untuk Anda ketahui, bahwa
perjalanan paling akhir Kekhilafahan Utsmani adalah salah satu representasi
federasi dalam sistem pemerintahan...”
Tanggapan:
Pertama, jika kita ingin mengetahui atau menilai suatu konsep maka
kita merujuk pada konsep itu sendiri bukan dari perjalanan dan sejarah
penerapannya. Sebagai contoh, apabila kita hendak memahami konsep dari sistem
komunis, maka kita tidak dapat mengambilnya dari sejarah Rusia akan tetapi
mengambilnya dari buku-buku ideologi komunis. Begitu pula jika kita hendak
mengetahui perundang-undangan Inggris, maka kita tidak bisa mengambilnya dari
sejarah Inggris, akan tetapi mengambilnya dari kodifikasi hukum Inggris itu
sendiri. Kaidah ini berlaku untuk konsep apa pun.
Begitu pula halnya dengan
Islam. Apabila kita ingin mengetahui dan mengambilnya, maka sama sekali tidak
dibenarkan menjadikan sejarah sebagai sumber rujukan, tidak dari segi
pengetahuan tentang peraturannya dan tidak pula dari segi cara pengambilan
hukum-hukumnya (istinbath). Dalam
Islam, peraturan dalam segala aspeknya baik yang menyangkut ibadah, maupun mu’amalah hanya diambil dari sumber-sumber fiqih, bukan
dari sejarah, sebab sejarah bukanlah sumber fiqih.
Kedua, dengan istinbathul
hukmi, syara’ menetapkan bahwa
bentuk Negara dalam Islam adalah negara kesatuan (wihdah). Maka, seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah
Khilafah adalah hukum yang sama. Sehingga tidak ada peraturan yang hanya
berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam
sistem federasi atau otonomi. Lebih jauh Anda bisa kaji dalam buku “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan
Administrasinya).”
Ketiga, Federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan saat beberapa
negara bagian bekerjasama dan membentuk negara federal. Masing-masing negara
bagian memiliki beberapa otonomi khusus, sementara pemerintahan pusat mengatur
beberapa urusan yang dianggap nasional. Sedangkan Khilafah Utsmani tidak tepat
dikatakan sebagai federasi, karena wilayahnya bukanlah daerah-daerah terpisah
dengan otonominya sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum (federal). Akan
tetapi wilayahnya terdiri dari berbagai daerah dan propinsi (kewalian) yang
dinilai sebagai bagian dari satu negara yang sama. Meski pada akhir pemerintahannya
ada beberapa faktor yang menyebabkan seolah-olah wilayah-wilayahnya berbentuk
negara-negara yang otonom. Faktor penyebabnya diantaranya adalah karena
diberikannya wewenang yang luas oleh khalifah kepada para wali (gubernur).
Namun, seluas apapun kekuasaan para wali, yang mengangkat dan memberhentikan
mereka adalah khalifah, dan para wali tidak bisa memberhentikan khalifah.
“Mana yang ingin Anda
rubah, bentuk teritorial wilayah NKRI, atau kandungan undang-undang dan
konstitusi? Tentu Anda paham ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam konteks
HTI, setahu saya semuanya harus dirubah, model ketatanegaraannya dirubah
menjadi sistem wilayah Internasional dan pemimpinnya satu orang dari seluruh
bangsa-bangsa yang besar. Juga tentu undang-undang dan konstitusinya. Saya
pastikan gagasan Anda akan terbantah bahkan oleh kawan Anda sendiri”
Tanggapan:
Khilafah adalah
kepemimpinan untuk seluruh kaum Muslimin, bukan kepemimpinan untuk bangsa
tertentu. Jadi, wilayah negeri-negeri Islam yang dipecah oleh tapal-tapal batas
artifisial buatan penjajah pada era dekolonisasi, akan disatukan kembali.
Pembentukannya tentu tidak serta merta dalam satu waktu. Kalau ini jelas tidak
mungkin. Caranya menurut An Nabhani adalah dengan mendirikan Khilafah di sebuah
negeri muslim lalu Khilafah memperluas wilayahnya dengan menyatukan
negeri-negeri Islam lainnya. Demikianlah dulu Nabi membangun negara, yang pada
awalnya berpusat di Madinah lalu meluas dengan menyatukan negeri-negeri di
Jazirah Arab yang lain di bawah pemerintahan Islam. Perluasan itu terus
dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya hingga wilayahnya meliputi Timur Tengah,
Afrika bahkan sampai Eropa.
Jadi Anda benar. Bentuk
teritorial wilayah Indonesia akan berubah karena akan disatukan dengan
negeri-negeri Islam yang lain, dengan satu ikatan ideologi Islam oleh satu
negara yang menerapkan syariah Islam. Hal itu tentu menjadi kebaikan, bukan
menjadi kerugian. Selain karena hal tersebut merupakan hukum syara’. Dalam kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah Juz V hal. 416 disebutkan, ”Para imam yang empat sepakat...bahwa kaum
muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua imam
(khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.” Jadi, persatuan umat
Islam dalam satu formasi kepemimpinan ideologis akan menyatukan potensi besar
umat Islam yang hari ini berserakan ibarat buih di lautan. Kenyataannya, format
negara bangsa yang ada menjadikan negeri-negeri muslim terkotak-kotak, lemah,
tidak disegani, mudah diadu domba, mudah diintervensi dengan isu-isu disintegrasi
seperti di Sudan dan Indonesia, bahkan sampai hari ini ada yang masih terjajah.
“...mari bergabung dengan
Indonesia dan menundukkan diri dengan penuh seluruh, Khilafah Islam dalam
bahasa Lokal.”
Tanggapan:
Untuk paragraf tulisan Anda
yang terakhir, tanggapan saya begini:
Pertama, di dalam bahasa Arab sering dipakai makna menurut bahasa,
menurut istilah, atau menurut syariat. Hukum-hukum Islam bersumber dari sumber
utama, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya adalah berbahasa Arab. Adakalanya
suatu hukum itu diambil berdasarkan penggalian (istinbath) terhadap sumber-sumber syariat tersebut. Oleh karena itu
orang yang ingin memahami hukum-hukum Islam, apalagi melakukan penggalian
hukum, mutlak diperlukan kepiawaian dalam tata bahasa Arab. Jika tidak, besar
kemungkinan akan terjerumus dalam kekeliruan, yang berujung pada kesesatan.
Di sini tidak berlaku
pameo ‘apalah arti sebuah nama’,
karena justru di dalam kajian hukum Islam, kata itu sendiri amat bermakna. Hal
ini juga disadari oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka secara sengaja
melakukan pemutarbalikkan kata/istilah, sekaligus mendistorsi pengertian
tertentu yang berasal dari kata berbahasa Arab yang terdapat di dalam al-Quran
dan Sunnah. Akibatnya, makna kata tersebut hilang ‘gregetnya’, dan tidak
memiliki dampak hukum apa pun terhadap kaum Muslim, meski sesungguhnya kata
tersebut memiliki makna syariat.
Kedua, Anda jelas melakukan pemutarbalikkan kata/istilah,
sekaligus mendistorsi pengertian Khilafah. Padahal, kata Khilafah memiliki
pengertian yang telah ditetapkan oleh syariat. Khilafah adalah kepemimipinan
umum bagi semua kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
Islam dan mengusung dakwah Islam ke seluruh dunia. Anda bisa merujuk pada
kitab-kitab fiqh mu’tabar yang
menjelaskan tentang definisi Khilafah. Oleh karena itu, Anda tidak bisa
semena-mena –dan cara Anda ini sangat tidak ilmiah—membajak istilah Khilafah. Wallahu a’lam bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...