Selasa, 19 April 2016

Tanggapan Atas Tulisan: “Indonesia itu Khilafah dalam Bahasa Lokal”[1]

Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[2]

Bismillah walhamdulillah. Saya sampaikan terimakasih kepada Bung Libas telah menanggapi tulisan saya. Saya merasa perlu untuk memberikan beberapa tanggapan balik kendati ini terlambat. Meski sebenarnya saya tidak sesibuk Bung Libas. Jadi, bukan karena alasan kesibukan tulisan tanggapan balik ini baru muncul.

Lepas dari setuju atau tidak dengan tulisan saya, saya mencermati Bung Libas ‘terburu-buru’ menstigma sebelum menuntaskan diskusi dan mendalami topik yang sedang diuji argumentasinya. Sepanjang sejarahnya, Hizbut Tahrir (HT) konsisten untuk konsen dengan adu argumentasi ilmiah, bukan dengan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengAndalkan logika kekuatan. Saran saya simpan dulu stigma Anda, mari buka diskusi dan perdebatan ilmiah. Sehingga kalaupun Anda tetap pada pendiriannya, setidaknya di antara kita akan ada tafahum.

Sebenarnya beberapa persoalan yang Anda ragukan terkait ketidakmungkinan unifikasi atas dasar Islam, konsep khilafah yang sumir –bahkan di awal Anda menyebut konsep HT sebagai negara ‘kartun’ yang absurd (cloud cucko land)–, telah disajikan HT secara argumentatif dalam terbitan-terbitannya. Sistem Khilafah masih perlu didetilkan, tulisan saya yang Anda tanggapi jelas tidak ditulis untuk menguraikan detil-detil sistem Khilafah itu. Dan detil sistem Khilafah itu, bukan hanya soal suksesi semata. Tapi juga tentang bentuk dan struktur pemerintahan, sistem ekonomi, politik luar negeri, hingga rancangan undang-undang, semuanya telah disajikan oleh HT untuk dikaji sebagai solusi alternatif bagi tatanan dunia yang materialistis, liberal, kapitalistis dan sekuler ini.   

Baiklah, tidak berlama-lama, saya coba menanggapi balik beberapa poin dari tanggapan Bung Libas atas tulisan saya:

“Yang jadi masalah, konsep yang diajukan Bung Jauhar tidak sama sekali melihat posisi umat selain Islam yang sama-sama membentuk Republik, dan hanya melihat Indonesia ini dari kacamata Islam yang –kebetulan– mayoritas di Indonesia. Negara Indonesia amat jauh berbeda lahirnya dengan situasi negara-kota ala Nabi yang memang perjuangan menempuh kemuliaan itu sepenuhnya andil Islam. Di Indonesia, Hindia Belanda, Cita-cita merdeka itu lahir sebab kulit kuning, kulit putih, menindas kulit coklat. Sehingga orang non-Islam juga sama-sama punya andil dalam proses memerdekakan negara. Dalam tataran ini, bagi saya, konsep Dzimmi tidak bisa berlaku di Indonesia. Jadi, kita tidak bisa serampangan begitu saja membentuk negara seluruhnya Islam dan melupakan andil mereka. Akan ditaruh mana “muka” kita sebagai seorang muslim?”
Tanggapan:

Pertama, saya kira perlu dibedakan antara perjuangan mengusir penjajah dengan proses membentuk negara. Mengapa? karena secara faktual ia adalah dua aktifitas yang berbeda, tuntutannya pun berbeda. Perjuangan untuk mengusir penjajah adalah perang fisik. Sedangkan mendirikan negara adalah aktifitas politik dan pemikiran. Inilah mengapa aktifitas Bung Karno dan Bung Hatta adalah aktifitas politik, mendirikan partai, melakukan kontak-kontak ke perwira Jepang, mengkader, menulis dan menyebarkan pemikiran untuk membentuk opini publik. Dia tidak terlibat dalam perang fisik.

Kedua, melawan penjajah dan mempertahankan negeri merupakan respon naluriah. Secara naluriah manusia akan mempertahankan klan, suku dan bangsanya serta bumi tempat dia tinggal.  Terutama penampakannya akan menguat apabila ada ancaman yang datang dari luar. Semisal, invasi dari orang asing. Memang benar semua elemen penduduk negeri yang mengangkat senjata melawan penjajah punya andil apapun warna kulit dan keyakinannya. Namun, ketika berbicara untuk mendirikan negara jelas membutuhkan landasan rasional, bukan sekedar emosional. Oleh karena itu, pembicaraannya akan menyangkut sesuatu yang lebih konseptual, yang di sana mengkaji apa yang benar untuk dijadikan sebagai dasar bagi berdirinya negara. Disinilah letak perdebatan para perumus negara, mereka mendebatkan apa yang benar untuk dijadikan dasar negara, yang nantinya akan melahirkan bentuk pemerintahan dan perundang-undangan.

Pada titik ini, mestinya tidak lagi bicara andil, siapa yang lebih banyak berkorban, siapa yang lebih banyak tertumpah darah. Karena titik persoalannya adalah manakah konsep negara yang benar yang bisa mengantarkan pada cita-cita kehidupan yang mulia. Tidak tepat juga bila diambil jalan kompromi. Katakanlah orang sosialis ikut berperang, orang Islam dan pemeluk agama lain juga ikut berperang, orang sekuler juga ikut berperang. Karena semua ikut berperang marilah kita buat konsep gado-gado yang mengkombinasikan semua keyakinan orang yang ikut berperang. Jelas ini adalah cara berpikir yang keliru, karena tidak dibangun dari rasio, dalam arti tidak dengan mengkaji dan membuktikan manakah di antara keyakinan atau konsep itu yang benar. Sosialis-kah, Islamis-kah, Sekuleris-kah, Kristen-kah, Hindu-kah, misalnya. Itu pun jika Kristen dan agama-agama yang lain selain Islam memiliki konsep untuk mengatur urusan pemerintahan, ekonomi, politik luar negeri dst.  

Ketiga, dalam kasus Indonesia, konsep yang akhirnya menang adalah konsep negara bangsa. Maka, ketika dewasa ini ada pengujian terhadap kelayakan dan kesahihan konsep negara bangsa adalah hal yang sah-sah saja, jika memang penguji itu mampu menghadirkan konsep lain yang lebih baik. Nah, jika kemudian Anda menuduh sebagai pengkhianat para founding fathers, para pahlawan yang telah memerdekakan negeri ini? Bukankah rakyat Indonesia menggulingkan Soekarno yang notabene dia adalah founding fathers?!. Rakyat menentang Nasakom, tafsiran Soekarno atas Pancasila. Padahal Soekarno-lah salah satu perumusnya. Apakah kita sudah dalam taraf mensakralkan dan memutlakkan suatu konsep yang perumusnya adalah manusia yang memiliki kemungkinan salah? Bahkan sekalipun konsep negara bangsa ini dipercayai oleh banyak orang, belum tentu itu adalah konsep yang benar. Dalam kacamata Islam, benar tidaknya konsep tidak diukur apakah konsep itu disepakati oleh kebanyakan manusia ataukah tidak. Bahkan, sesuatu yang dibenci oleh seluruh manusia belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam. (lihat QS. Al Baqarah 216).

Keempat, saya kira Anda tidak tepat menjelaskan pembentukan negara Madinah. Fakta Madinah bukanlah negara yang homogen. Agama penduduk aslinya bukanlah Islam. Penduduknya beraneka ragam suku dan keyakinan. Sebelum datang Islam hingga Islam memimpin, Madinah adalah negara-kota yang heterogen. Maka jika menggunakan logika Anda mestinya apa yang dilakukan oleh Nabi adalah serampangan dengan membuat negara berdasarkan Islam, yang menafikan penganut agama lainnya yang notabene juga penduduk asli Madinah. Oleh karena itu, orientalis ada yang mengatakan bahwa Nabi memang mendirikan negara tapi mereka mengingkari negara yang Nabi dirikan adalah negara Islam. Nabi mendirikan negara sekuler, mereka menjadikan Piagam Madinah sebagai bukti.

Maka di sini penting mengkaji bagaimana bentuk sekaligus cara Nabi sebagai satu-satunya uswah dalam membangun negara. Sirah Nabi adalah bagian dari tingkah laku Nabi dan ia adalah sunnah sebagaimana ucapan dan diamnya. Oleh karena itu, An Nabhani[3] mengkaji perjalanan dakwah Nabi lalu merumuskan tahapan dan tata cara membangun Negara Islam sesuai dengan metode Nabi dalam menegakkan negara di Madinah. Pada kesempatan lain jika perlu kita diskusikan.

“Tidak ada statement tegas dari Nabi, bagaimana seorang harus menjadi Khalifah (pengganti)-nya. Saya rasa Anda juga tahu, bahwa masalah pemimpin dalam Islam menembus jalur Khilafiyah. Jadi, mewajibkan Khilafah sebagai satu-satunya konsep yang “diridhoi” Allah, bagi saya merupakan suatu pandangan yang keliru.”
Tanggapan:

Jika yang Anda maksud adalah tidak ada aturan baku bagaimana seorang bisa menjadi khalifah maka Anda keliru. Nabi SAW menjelaskan, metode baku untuk mengangkat seorang khalifah adalah dengan baiat dari umat. Artinya seorang tidak sah menjadi khalifah kecuali mendapat baiat dari umat. Adapun jika yang Anda maksud adalah mekanisme pengambilan baiat, atau dengan kata lain prosedur dalam pemilihan khalifah. Maka, dalam hal ini memang terdapat beberapa cara. Maka dari itu perlu dibedakan mana metode yang bersifat baku dengan mana soal prosedur teknis yang bersifat kondisional.

Di Indonesia sendiri pemilihan presiden pernah dipilih melalui parlemen sebelum berubah menjadi mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Tapi tidak ada yang mengatakan bahwa Indonesia telah mengalami perubahan sistem, Indonesia tetap menggunakan sistem demokrasi. Nah, dalam Islam, seorang sah menjadi Khalifah manakala mendapat baiat dari umat. Adapun mekanismenya khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi dari khalifah sebelumnya seperti Umar, atau melalui suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model itu absah digunakan pada kondisi yang tepat.

Kesimpulan tersebut diambil dari ijma’ Sahabat sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dari pernyataan Anda bahwa “tidak ada statement yang tegas dari Nabi, bagaimana seorang harus menjadi Khalifah-nya”, tidak otomatis bahwa Islam tidak memiliki model suksesi. Mengapa pada pernyataan ini Anda tiba-tiba begitu tekstualis? Jadi, jika Anda menyimpulkan ketidakwajiban khilafah dari ketiadaannya tatacara teknis yang baku untuk menjadi khalifah maka ini adalah kesimpulan yang gegabah. Lebih jauh sebagaimana Anda menyimpulkan dalam pernyataan Anda berikut:

“Tapi sebagaimana Anda tahu, setelah nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal, oleh karenanya juga berlaku bahwa kepemimpinan sudah tidak bisa ditunggalkan hanya kepada satu orang manusia yang tidak ma’shum. Ini berarti, umat Islam berhak memilih dan menentukan bentuk dan sistem negaranya sesuai nilai-nilai kontekstualitas Islam berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang didiaminya. Dengan kata lain, sistem kekhalifahan sebagai produk pasca nabi, posisinya secara teori tidak lebih dari masalah ijtihad. Sebab tidak terdapat nash pasti sebagaimana pastinya masalah, puasa, zakat, zina, dan lain-lain.”

Tanggapan:

Pertama, pernyataan Anda bahwa “setelah nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal” adalah menyelisihi fakta. Faktanya, setelah Nabi, umat Islam tetap memiliki otoritas tunggal dalam mengatur urusan mereka, yaitu berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Otoritas mereka tidak mensyaratkan mereka harus ma’shum karena tugas mereka adalah melanjutkan tugas Nabi dalam ri’ayah as-syu’un al-ummah, tidak dalam posisi melanjutkan kerasulan dan kenabian. Jadi, kapasitas khalifah adalah sebagai kepala negara yang melakukan tathbiq terhadap hukum-hukum syariah dan mengatur urusan masyarakat dalam semua dimensinya; politik dalam dan luar negeri, ekonomi, pendidikan, dan seterusnya. Oleh karena itu, Khilafah bukanlah negara teokrasi.

Kedua, dari kenyataan bahwa tidak ada lagi manusia yang ma’shum lantas Anda menarik kesimpulan bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan sistem pemerintahan tertentu jelas ini adalah kesimpulan yang lebih gegabah lagi. Pasalnya, jabatan khalifah adalah jabatan manusiawi. Khalifah diangkat melalui baiat dari umat bukan karena mandat Tuhan. Ini adalah pAndangan ahlus sunnah. Khalifah adalah pelaksana hukum-hukum syariah, ia tidak kebal hukum. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah. Karenanya, khalifah bisa dijatuhkan manakala melanggar hukum syariah. Dalam sistem Khilafah, kedaulatan ada di tangan hukum syara’. As-Siyadatu lis Syar’i adalah salah satu pilar sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, Khilafah adalah negara hukum bukan negara totaliter. Sejarah mencatat seorang khalifah bisa kalah di meja peradilan dengan seorang Yahudi, rakyat jelata. Dari sini saja kita dapati mengamati bahwa Islam menentukan dan mengatur hukum-hukum terkait penguasa dan pemerintahan. Beberapa kitab fiqh juga mengupas topik-topik khusus terkait rumusan khilafah di antaranya Ahkamus Sulthaniyyah karya Al-Mawardi, Ghuyats al-Umam karya al-Juwaini dan as-Siyasah as-Syar’iyyah karya Ibnu Taymiyah.

Anda keliru jika menyebut Khilafah adalah produk ijtihad sahabat (produk pasca Nabi). Khilafah bukan ijtihad sahabat tapi ijma’ sahabat. Jika Khilafah posisinya sebagai ijtihad sahabat niscaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeda pendapat, yaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat, tentang siapakah orang yang layak menjadi khalifah. Bukan perbedaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak. Jadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Sedangkan Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, terkait wajibnya Khilafah tidak terjadi ikhtilaf. Sedangkan dalam hal syarat orang yang sah dan layak untuk menjadi khalifah maka para ulama’ terjadi perbedaan. Ada yang mensyaratkan syarat in’iqad bagi khalifah adalah berasal dari suku Qurays, sedangkan yang lain berpendapat Qurays bukanlah syarat in’iqad tapi syarat afdhaliyyah.

Anda menyatakan bahwa tidak ada nash pasti sebagaimana pastinya masalah puasa, zakat, zina dan lain-lain. Kembali saya dapati Anda begitu tekstualis. Sebagaimana yang telah saya singgung di awal, wajibnya Khilafah sebagai bentuk pemerintahan dalam Islam ditetapkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Memang, di dalam al-Quran tidak didapati istilah khalifah kecuali dipakai dalam bentuk umum yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 30, dan dalam bentuk agak lebih khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul SAW. telah membatasi penggunaan istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi SAW. bersabda:

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi SAW. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:

“Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim)”
Jadi, argumen Anda tidak mencukupi untuk mengklaim bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan sistem pemerintahan.

“Saya sangat kesulitan –karena tidak ada paparan jelas- memahami seluruh dunia (umat muslim) menyerahkan urusan pemerintahannya dalam satu kepemimpinan tunggal tanpa melihat realitas geografis, etnografis, bahkan etnisitas suatu bangsa yang multi-varian dan beragam satu sama lain.”

Tanggapan:

Dahulu juga orang sulit membayangkan Jerman Barat dan Timur akan dapat bersatu tapi toh akhirnya tembok Berlin runtuh dan terjadilah persatuan Jerman. Unifikasi umat Islam dalam satu negara bukanlah suatu hal yang mustahil.

Pertama, karena di dalam Islam tersimpan potensi untuk menjadi pengikat di antara manusia. Islam memandang seorang Muslim sebagai hamba yang kedudukannya diukur oleh ketakwaan. Islam tidak membedakan manusia berdasarkan ras, bangsa dan warna kulit. Islam mempersaudarakan satu Muslim dengan Muslim lainnya atas dasar kalimat Tauhid. Sejarah telah membuktikan, Islam menjadi unsur pemersatu bangsa-bangsa yang tiada bandingnya. Penerapan Islam selama berabad-abad oleh para Khalifah, dengan kekuasaan yang membentang sepanjang wilayah yang sangat luas, sebuah negara yang dihuni oleh orang-orang yang berbeda warna kulitnya, bahasanya, agamanya dan suku bangsanya. Hal ini bahkan diakui oleh seorang sejarawan Arnold Toynbee, dia menulis dalam bukunya A Study of History: “Punahnya kesadaran (sentimen) ras sebagaimana yang terjadi di antara Muslim, merupakan salah satu prestasi Islam, dan dalam dunia kontemporer ini ada kebutuhan yang amat mendesak untuk menyebarkan nilai-nilai Islam ini.” Sejarawan lain, Dr. William Draper menyatakan: “Selama masa Khilafah, kalangan terpelajar dari kaum Nasrani dan Yahudi tidak hanya mendapatkan penghargaan yang tinggi, tetapi mereka bahkan diangkat menduduki jabatan-jabatan dengan tanggung jawab yang besar dan dipromosikan ke posisi yang tinggi di pemerintahan... Dia (Khalifah Harun ar-Rasyid) tidak pernah memandang dari mana orang terpelajar itu berasal, atau agama dan keyakinannya, melainkan dari kecakapannya dalam bidang keahliannya.”

Kedua, sebenarnya persoalannya adalah mewujudkan sebuah visi politik. Dalam kasus Indonesia, visi nasionalisme Indonesia mampu menyatukan suku-suku yang beraneka ragam budaya dan latar geografis dalam satu payung politik. Pada sisi lain, kita dapati di dalam satu kepulauan Kalimantan, yang secara geografis dan etnografis relatif tidak berbeda justru berdiri tiga negara. Aceh dan Sumatera notabene adalah sama secara ras dengan Malaysia. Akan tetapi penduduk Sumatera dan Malaya terpisah dalam dua payung politik. Sedangkan Sumatera dengan Papua, yang mereka berjauhan secara etnis dan budaya bisa bersatu dalam satu payung politik. Jadi, persoalannya adalah mewujudkan visi politik. Sehingga meski berbeda latar geografis, etnografis dan etnisitas, tidak menghalangi manusia untuk bersatu. Nah, Islam jelas layak, bahkan bukan hanya layak tapi juga satu-satunya ikatan yang sahih untuk dijadikan sebagai ikatan politik bagi manusia. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dengan mewujudkan visi politik Islam di Madinah, yang menyatukan keragaman dan menghentikan pertikaian antar kabilah.

Ketiga, jika kita mengamati perkembangan pola hubungan manusia modern justru mengarah pada unifikasi, yang menerabas batas-batas negara bangsa. Pada abad 21 ini menunjukkan adanya peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di mana pun dapat diikuti oleh siapa pun di pelosok dunia mana pun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh negara bangsa menjadi kurang berarti. Berbagai penyatuan bangsa pun terjadi. Negara-negara Eropa membentuk Uni Eropa, menyatukan mata uang ke dalam mata uang bersama Euro. Globalisasi menyatukan dunia dalam sistem moneter, standart mata uang, penanganan penyakit, isu-isu lingkungan hidup, dst. Karenanya, persoalannya bukanlah pada penyatuannya, tapi apakah Kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar kebersatuan dunia. Padahal, Kapitalisme global telah melahirkan pemborosan sumber daya alam, perusakan lingkungan, tercerabutnya kearifan lokal, krisis kemanusiaan dan terjadinya penjajahan ekonomi di mana-mana. Dewasa ini, di mana-mana orang mencari alternatif. Dunia jelas membutuhkan alternatif paradigma baru. Disinilah sistem Khilafah dan syariah Islam akan menjadi alternatif pemecahan praktis permasalahan dunia. Memberikan arah dan makna kehidupan dengan paradigma yang tepat.

“...tidak ada kelompok Islam mayoritas yang menolak mutlak pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Mereka meyakini, proses pemberlakuannya mesti secara perlahan dan sesuai prosedur yang ada di Indonesia. Ini tidak lain, Semata untuk menghindari perang saudara sebagaimana pemaksaan banyak ide dan konsep di Timur Tengah dan Afrika.”

Tanggapan:

Saya sepakat, kelompok Islam mestinya menjadikan pemberlakuan syariat Islam sebagai agenda utama. Sebagaimana di awal saya katakan terkait cara untuk memberlakukan syariat Islam, atau secara lebih umum cara untuk melakukan perubahan ini perlu didiskusikan dalam topik khusus.  Karenanya saya tidak fokus pada hal tersebut. Hanya saja, Anda melakukan oversimplifikasi terhadap konflik yang terjadi di Timur Tengah.  

“Melihat realitas ini, tentu dapat kita nyatakan bahwa sebenarnya isu Khilafah tidaklah mendapat posisi sentral dalam perjuangan politik Umat Islam di Indonesia, terlebih lagi di wilayah Timur Tengah.”

Tanggapan:

Memang benar, pada akhirnya isu Khilafah berangsur-angsur hilang dan tergantikan oleh perjuangan nasionalisme. Tapi, yang hendak saya tekankan pada tulisan saya yang pertama adalah bahwa realita sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia pernah diwarnai dengan ide penegakkan Khilafah kembali sebagai respon atas penghapusan Khilafah Utsmani. Meskipun begitu, bagaimanapun juga realita sejarah bukanlah dalil yang bisa digunakan untuk membenarkan atau menolak perjuangan penegakan Khilafah di masa kini atau di masa yang akan datang. Ia hanyalah suatu realita yang harus dibaca apa adanya tanpa harus ditutup-tutupi.

“...bagaimana mungkin menyatakan negara federal tidak sesuai dengan Islam? untuk Anda ketahui, bahwa perjalanan paling akhir Kekhilafahan Utsmani adalah salah satu representasi federasi dalam sistem pemerintahan...”

Tanggapan:

Pertama, jika kita ingin mengetahui atau menilai suatu konsep maka kita merujuk pada konsep itu sendiri bukan dari perjalanan dan sejarah penerapannya. Sebagai contoh, apabila kita hendak memahami konsep dari sistem komunis, maka kita tidak dapat mengambilnya dari sejarah Rusia akan tetapi mengambilnya dari buku-buku ideologi komunis. Begitu pula jika kita hendak mengetahui perundang-undangan Inggris, maka kita tidak bisa mengambilnya dari sejarah Inggris, akan tetapi mengambilnya dari kodifikasi hukum Inggris itu sendiri. Kaidah ini berlaku untuk konsep apa pun.

Begitu pula halnya dengan Islam. Apabila kita ingin mengetahui dan mengambilnya, maka sama sekali tidak dibenarkan menjadikan sejarah sebagai sumber rujukan, tidak dari segi pengetahuan tentang peraturannya dan tidak pula dari segi cara pengambilan hukum-hukumnya (istinbath). Dalam Islam, peraturan dalam segala aspeknya baik yang menyangkut ibadah, maupun mu’amalah  hanya diambil dari sumber-sumber fiqih, bukan dari sejarah, sebab sejarah bukanlah sumber fiqih.

Kedua, dengan istinbathul hukmi, syara’ menetapkan bahwa bentuk Negara dalam Islam adalah negara kesatuan (wihdah). Maka, seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah adalah hukum yang sama. Sehingga tidak ada peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam sistem federasi atau otonomi. Lebih jauh Anda bisa kaji dalam buku “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasinya).”

Ketiga, Federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan saat beberapa negara bagian bekerjasama dan membentuk negara federal. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus, sementara pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Sedangkan Khilafah Utsmani tidak tepat dikatakan sebagai federasi, karena wilayahnya bukanlah daerah-daerah terpisah dengan otonominya sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum (federal). Akan tetapi wilayahnya terdiri dari berbagai daerah dan propinsi (kewalian) yang dinilai sebagai bagian dari satu negara yang sama. Meski pada akhir pemerintahannya ada beberapa faktor yang menyebabkan seolah-olah wilayah-wilayahnya berbentuk negara-negara yang otonom. Faktor penyebabnya diantaranya adalah karena diberikannya wewenang yang luas oleh khalifah kepada para wali (gubernur). Namun, seluas apapun kekuasaan para wali, yang mengangkat dan memberhentikan mereka adalah khalifah, dan para wali tidak bisa memberhentikan khalifah.

“Mana yang ingin Anda rubah, bentuk teritorial wilayah NKRI, atau kandungan undang-undang dan konstitusi? Tentu Anda paham ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam konteks HTI, setahu saya semuanya harus dirubah, model ketatanegaraannya dirubah menjadi sistem wilayah Internasional dan pemimpinnya satu orang dari seluruh bangsa-bangsa yang besar. Juga tentu undang-undang dan konstitusinya. Saya pastikan gagasan Anda akan terbantah bahkan oleh kawan Anda sendiri”

Tanggapan:

Khilafah adalah kepemimpinan untuk seluruh kaum Muslimin, bukan kepemimpinan untuk bangsa tertentu. Jadi, wilayah negeri-negeri Islam yang dipecah oleh tapal-tapal batas artifisial buatan penjajah pada era dekolonisasi, akan disatukan kembali. Pembentukannya tentu tidak serta merta dalam satu waktu. Kalau ini jelas tidak mungkin. Caranya menurut An Nabhani adalah dengan mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim lalu Khilafah memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya. Demikianlah dulu Nabi membangun negara, yang pada awalnya berpusat di Madinah lalu meluas dengan menyatukan negeri-negeri di Jazirah Arab yang lain di bawah pemerintahan Islam. Perluasan itu terus dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya hingga wilayahnya meliputi Timur Tengah, Afrika bahkan sampai Eropa.

Jadi Anda benar. Bentuk teritorial wilayah Indonesia akan berubah karena akan disatukan dengan negeri-negeri Islam yang lain, dengan satu ikatan ideologi Islam oleh satu negara yang menerapkan syariah Islam. Hal itu tentu menjadi kebaikan, bukan menjadi kerugian. Selain karena hal tersebut merupakan hukum syara’. Dalam kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah Juz V hal. 416 disebutkan, ”Para imam yang empat sepakat...bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.” Jadi, persatuan umat Islam dalam satu formasi kepemimpinan ideologis akan menyatukan potensi besar umat Islam yang hari ini berserakan ibarat buih di lautan. Kenyataannya, format negara bangsa yang ada menjadikan negeri-negeri muslim terkotak-kotak, lemah, tidak disegani, mudah diadu domba, mudah diintervensi dengan isu-isu disintegrasi seperti di Sudan dan Indonesia, bahkan sampai hari ini ada yang masih terjajah.

“...mari bergabung dengan Indonesia dan menundukkan diri dengan penuh seluruh, Khilafah Islam dalam bahasa Lokal.”

Tanggapan:

Untuk paragraf tulisan Anda yang terakhir, tanggapan saya begini:

Pertama, di dalam bahasa Arab sering dipakai makna menurut bahasa, menurut istilah, atau menurut syariat. Hukum-hukum Islam bersumber dari sumber utama, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya adalah berbahasa Arab. Adakalanya suatu hukum itu diambil berdasarkan penggalian (istinbath) terhadap sumber-sumber syariat tersebut. Oleh karena itu orang yang ingin memahami hukum-hukum Islam, apalagi melakukan penggalian hukum, mutlak diperlukan kepiawaian dalam tata bahasa Arab. Jika tidak, besar kemungkinan akan terjerumus dalam kekeliruan, yang berujung pada kesesatan.

Di sini tidak berlaku pameo ‘apalah arti sebuah nama’, karena justru di dalam kajian hukum Islam, kata itu sendiri amat bermakna. Hal ini juga disadari oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka secara sengaja melakukan pemutarbalikkan kata/istilah, sekaligus mendistorsi pengertian tertentu yang berasal dari kata berbahasa Arab yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, makna kata tersebut hilang ‘gregetnya’, dan tidak memiliki dampak hukum apa pun terhadap kaum Muslim, meski sesungguhnya kata tersebut memiliki makna syariat.

Kedua, Anda jelas melakukan pemutarbalikkan kata/istilah, sekaligus mendistorsi pengertian Khilafah. Padahal, kata Khilafah memiliki pengertian yang telah ditetapkan oleh syariat. Khilafah adalah kepemimipinan umum bagi semua kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengusung dakwah Islam ke seluruh dunia. Anda bisa merujuk pada kitab-kitab fiqh mu’tabar yang menjelaskan tentang definisi Khilafah. Oleh karena itu, Anda tidak bisa semena-mena –dan cara Anda ini sangat tidak ilmiah—membajak istilah Khilafah. Wallahu a’lam bis shawab.

[1] Tulisan “Indonesia itu Khilafah dalam Bahasa Lokal” ditulis oleh Libasut Taqwa
[2] Aktivis Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur
[3] Inisiator HTI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...