Minggu, 10 April 2016

Pojok Gus Dur (II)[1]

Oleh: Libasut Taqwa
Setelah berapa waktu lalu berbagi cerita di Pojok Gus Dur—Abdurrahman Wahid, dan situasi tempat itu yang cukup efisien untuk belajar dan membaca buku, di samping juga kegunaan lainnya seperti tempat belajar mengaji, kali ini saya ingin menyampaikan tentang tokoh yang dari namanya tempat itu dinamai; Gus Dur.

Terang-terangan saya mengakui, ada banyak hal yang menjadi pertanyaan di benak atas Gus Dur. Baik Sepak terjang, kehidupan, bahkan pikirannya yang acapkali kontroversial (?). Apakah ia memang kontroversi dan salah jalur sebagaimana yang akan saya catat di bawah ini?. Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini suatu perkara yang biasa. Hal-hal yang memang seharusnya pantas menjadi pergolakan batin bagi seseorang yang memang secara langsung belum pernah bertemu dengan sosok tertentu, dan hanya menikmatinya dari perspektif ragamnya bacaan dan seringkali multitafsir –untuk tidak mengatakan keliru- mengenai tokoh itu.

Sebelum melangkah jauh, alangkah baik dijelaskan akar perkembangan pikiran saya, mungkin termasuk dalam menilai seseorang. Saya lahir di Bima, termasuk bagian timur Indonesia. Di bagian timur ini, gugusan pulau tertata begitu rupa sehingga menyisakan alam pantai luar biasa yang turut mempengaruhi pola hidup masyarakatnya. Nah, saya tinggal di situ. Dibesarkan di situ. Menyerap nilai-nilai lokal ketimuran Indonesia yang kental. Walaupun dalam hal-hal tertentu kini banyak berubah. Kita mafhum, bahwa mereka yang tinggal di bagian pesisir, atau anggaplah berdekatan dengan pantai punya jiwa egalitarian cukup baik. Seringkali tidak terlalu suka hierarki yang ketat, atau misal relasi hamba-tuan yang kadangkala tergambar dari pola kehidupan agraris. Pandangan demikian, saya kutip dari beberapa bacaan, termasuk pendapatnya Cak Nur—Nurchalish Madjid, ketika berbicara tentang masyarakat Sumatera pesisir yang menyumbang bahasa Melayu dengan corak sama rata sama rasa dan tidak berjenjang seperti misal bahasa Jawa. Dalam konteks itulah saya selalu berusaha menilai Gus Dur sebagai tokoh yang  -sebagaimana disampaikan di atas- juga sama dengan manusia lain: biasa, dan tak bebas dari kritik serta tidak terlalu mesti ditinggi-tinggikan laiknya malaikat. Walaupun belakangan, setelah cukup bagi saya mempelajari satu-dua pendapat, saya anulir pandangan awal tersebut.
 
Walhasil, mindset demikian secara tidak sadar terukir dalam benak saya sebagai bagian proses berpikir merdeka yang berusaha sebisa mungkin tidak terpengaruh oleh arus pikiran lain, apalagi bertentangan dengan akar pikiran yang saya pelajari dan kembangkan. Kecuali itu, saya akui penjelajahan ilmiah-kultural saya tentang Gus Dur berkembang setelah di Jakarta (mungkin ini barokah Gus Dur).[2] Saya hanya terlalu buruk dalam komitmen mencatat dan menuliskannya setiap hari. Oleh sebab itu di kesempatan ini sembari mencicil fikiran tesis di Pojok Gus Dur, saya tertarik menulis hasil dari refleksi pribadi ketika melihat beberapa karya kontra Gus Dur dari satu-dua penulis dan buku. Kemudian saya beri pendapat, mencoba mendudukkan persoalan ‘kontroversial’ yang disematkan kepada Gus Dur. Kosa kata saya sedikit. Karena memang masih sedikit buku-buku yang saya “jamah” mengenai Gus Dur. Jadi, tentu ada karya yang tidak terhimpun, sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah bibliografi ‘penentang’ Gus Dur. Dalam mengulasnya, saya juga menghindari tulisan parsial yang memuat pendapat orang atau kelompok tertentu di media massa akan ketidaksetujuannya kepada Gus Dur. Memang belum cukup menjadi risalah panjang, belum juga mampu menjabarkan bagaimana sekarang para Indonesianis Australia mulai memberi pendapatnya yang berubah tentang Gus Dur.

Karya-karya yang saya kutip berikut merupakan buku-buku yang secara utuh dan lengkap menuliskan pandangan ketidaksetujuannya (kontra) –oleh pribadi maupun jama’ah- terhadap sepak terjang Gus Dur selama hidup. Baik ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU), setelah menjadi presiden, juga ketika lengser dan mulai ‘dijauhi’ para pendukungnya. Saya beri tanda kutip berdasarkan salah satu buku yang juga akan saya tuliskan. Tujuan ini saya maksudkan semata-mata menela’ah sejauh mana para penentang Gus Dur menyanggah Kyai panutan ini dengan tepat atau malah sebaliknya (saya terharu, sebab ini yang terjadi!), sebuah usaha yang sia-sia belaka. hanya Sayangnya, saya tidak bermaksud argumentum ad hominem. Tidak akan saya komentari para penulisnya. Selain tidak saya kenal, juga sebab tidak terlalu mentereng, baik dari segi produktivitas, maupun kualitas karya-karya.

Buku pertama, Cukup 1 Gus Dur saja!; Sebuah Monumen Kontroversi, kebodohan Sistemik, dan Kerancuan Berfikir Bangsa” oleh Abu Muhammad Waskito, sosok yang mendapat pengaruh spiritualnya dari seorang guru olahraga (?). Dengan gaya khas para pengagum rahasia, penulis ini tentu tidak secara jelas menulis biodata. Saya hanya mengetahui ia lahir pada Juli 1972. Sosok yang terlihat sedikit membaca ini memulai komentarnya tentang Gus Dur sebagai tokoh yang menjadi mata air kontroversi. Dengan sistem asal comot ayat al-Qur’an tanpa tafsir dan pendapat para ulama –saya curiga, ia tak tahu kitab kuning- dan hanya diberi satu-dua paragraf pendapatnya sendiri, Waskito mencoba membantah semua hal berkaitan dengan Gus Dur. Sebagaimana khasnya kritikus Gus Dur, buku ini juga memuat perihal Yahudi, freemason, musyrik, kafir, pluralism, dan syariat, yang terkumpul dari 23 Artikel dengan masing-masing judul tak sampai 10 halaman, bahkan ada yang Cuma 6 halaman (bolak-balik kertas).

Yang disayangkan, hampir semua tulisan hanya memuat hujatan. Setelah mengutip berbagai perndapat yang jarang dicantumkan sumbernya, tulisan pun hanya diakhiri dua paragraf komentar; satu paragraf terjemahan ayat, satu paragraf pendapat pribadi. Oleh karenanya saya fikir, sangat tidak perlu membahas konten tulisan ini karena hanya berupa penghakiman sepihak minim isi. Bagaimana mungkin sosok yang begitu fenomenal layak Gus Dur dikritik dengan buku yang bahkan tidak menuliskan Daftar Pustaka?.[3] padahal, buku ini termasuk terbit belakangan di zaman modern; 2010. Tentu ia tahu bagaimana seharusnya mempersiapkan naskah akademik yang patut disodorkan pada khalayak. Akhirnya saya berkesimpulan, orang ini berniat hanya melakukan justifikasi atas pemahaman tunggalnya akan kebenaran agama yang diyakini secara sepihak, miskin dialog, tumpul referensi ilmiah. Tapi seperti biasa, porsi cover selalu mendapat tempat khusus di mata pembaca. Silahkan dilihat kembali judul tulisan yang cukup “menghebohkan” di atas.

Buku kedua oleh Abdurrahman Nusantari. Judulnya juga cukup menggetarkan, “Ummat Menggugat Gus Dur; Menelusuri Jejak Penentangan Syariat.” Buku setebal 226 plus pengantar ini terbit atas prakarsa Aliansi Pecinta Syariat, Jawa Barat, 2006. Dari upaya tersebut, dapat kita lihat keterkaitan antara judul yang diberikan dengan penerbit. Masyarakat yang mencintai Syariat versus penentang Syariat ala Gus Dur.

Nusantari menyatakan niatnya menulis semakin kuat, ketika menikmati wawancara Gus Dur dengan Utan Kayu[4] sembari mengutip ucapan Gus Dur “kitab suci yang paling porno di dunia adalah al-Quran.” Yang dianggap pukulan menghancurkan Islam dengan keras. Saya heran, mengapa tulisan-tulisan ini selalu menggunakan bahasa-bahasa yang tidak pantas dengan merasa diri mewakili Islam, ummat, atau hal lain yang menyangkut kepentingan keseluruhan manusia. Kedua penulis di atas memiliki konfidensi cukup tinggi dengan memasang atribut Islam paling mentereng, UMAT. Mereka dengan seenaknya saja mengatasnamakan apa yang dibawakan dengan nama umat, atau istilah lain yang menurut saya sangat tidak patut. Kepercayaan diri tinggi inilah sekarang yang sering menghinggapi para pelaku teror yang dengan bangga mengaku di jalan Tuhan, di jalan Benar, di jalan Syariat, di jalan Islam, atau apalagi yang berkaitan dengan itu

Yang berbeda, jika Waskito menulis tanpa daftar pustaka, Nusantari cukup lumayan. Ia terlihat sekali tekun mengumpulkan banyak sumber data, khususnya media massa sebagai referensi pengungkapan ketidaksetujuannya dengan Gus Dur. Namun tulisan ini selalu dapat diduga, sama sekali saya kesulitan mencari data yang dijadikan Hujjah untuk ‘menyerang Gus Dur’. Dari segi halaman, kedua tulisan awal ini memang berbeda, namun ditilik dari esensi, saya kira, saya hanya membaca ‘sampah’.

Sekian dulu Bung Marlaf, saya putuskan istirahat menulis, sebab harus berangkat kuliah. Insya Allah lanjut ke buku-buku berikutnya.

Salam


[1] Untuk Pojok Gus Dur (I), silahkan melihat hasil publis Indonesia Belajar Institute, asuhan Marlaf Sucipto
[2] Saya seringkali menginap di Pojok Gus Dur sekaligus belajar dan membaca. Di sini ada ribuan buku, dokumen, data, kaset, video, serta komentar yang berkaitan dengan Gus Dur. Selain dapat juga mendiami kajian Gus Dur di Universitas Indonesia (UI), Saya juga amat berterimakasih dapat hampir setiap hari mengakses perpustakaan pribadi multibahasa Ahmad Suaedy, salah seorang pendiri The Wahid Institute yang cukup dekat dengan Gus Dur semasa hidup. Di perpustakaan ini, ada banyak dokumen yang saya kira hanya koleksi pribadi, dan belum banyak dijamah tangan lain.  
[3] Ia hanya mencantumkan body note ala kadarnya.
[4] Sebuah komunitas diskusi yang berpusat di Jakarta. Di dalamnya ada aktifis sekaliber Ulil Abshar Abdallah, dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...