Selasa, 19 April 2016

Tanggapan Atas Tulisan: “Indonesia itu Khilafah dalam Bahasa Lokal”[1]

Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[2]

Bismillah walhamdulillah. Saya sampaikan terimakasih kepada Bung Libas telah menanggapi tulisan saya. Saya merasa perlu untuk memberikan beberapa tanggapan balik kendati ini terlambat. Meski sebenarnya saya tidak sesibuk Bung Libas. Jadi, bukan karena alasan kesibukan tulisan tanggapan balik ini baru muncul.

Lepas dari setuju atau tidak dengan tulisan saya, saya mencermati Bung Libas ‘terburu-buru’ menstigma sebelum menuntaskan diskusi dan mendalami topik yang sedang diuji argumentasinya. Sepanjang sejarahnya, Hizbut Tahrir (HT) konsisten untuk konsen dengan adu argumentasi ilmiah, bukan dengan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengAndalkan logika kekuatan. Saran saya simpan dulu stigma Anda, mari buka diskusi dan perdebatan ilmiah. Sehingga kalaupun Anda tetap pada pendiriannya, setidaknya di antara kita akan ada tafahum.

Minggu, 10 April 2016

Membangun Masjid dan Membangun di Masjid

Oleh: Marlaf Sucipto
Kita tahu -utamanya umat Islam- bahwa sholat adalah perintah yang diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad tanpa perantara Malaikat Jibril sebagaimana wahyu-wahyu yang lain. Hal ini tergambar jelas di dalam al-Quran surah ke-17, al-Isro’ (1), Nabi Muhammad yang didampingi Malaikat Jibril menghadap langsung kepada Allah, berangkat dari Masjidil Harôm Mekkah, singgah di Masjidil Aqshô, Palestine, kemudian berlanjut dengan perjalanan vertikal (mi’rôj) menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Mayoritas ulama’ mufassirunmemaknai Sidratul Muntaha sebagai singgasana Allah. Malaikat Jibril yang bertindak sebagai “ajudan” Nabi Muhammad sekali pun, hanya ngantar sampai di pintu Sidratul Muntaha, karena, menurut mayoritas ulama’ mufassirun, hanya Nabi Muhammad yang sanggup menghadap dan bercakap-cakap langsung dengan Allah, sedangkan selainnya, tak ada yang mampu, termasuk nabi-nabi yang lain.

Pojok Gus Dur (II)[1]

Oleh: Libasut Taqwa
Setelah berapa waktu lalu berbagi cerita di Pojok Gus Dur—Abdurrahman Wahid, dan situasi tempat itu yang cukup efisien untuk belajar dan membaca buku, di samping juga kegunaan lainnya seperti tempat belajar mengaji, kali ini saya ingin menyampaikan tentang tokoh yang dari namanya tempat itu dinamai; Gus Dur.

Terang-terangan saya mengakui, ada banyak hal yang menjadi pertanyaan di benak atas Gus Dur. Baik Sepak terjang, kehidupan, bahkan pikirannya yang acapkali kontroversial (?). Apakah ia memang kontroversi dan salah jalur sebagaimana yang akan saya catat di bawah ini?. Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini suatu perkara yang biasa. Hal-hal yang memang seharusnya pantas menjadi pergolakan batin bagi seseorang yang memang secara langsung belum pernah bertemu dengan sosok tertentu, dan hanya menikmatinya dari perspektif ragamnya bacaan dan seringkali multitafsir –untuk tidak mengatakan keliru- mengenai tokoh itu.