Oleh: Libasut Taqwa, S. HI[1]
Hari ini saya menghabiskan sebagian
hari di Bogor, kota yang selalu dibumbui sendunya aroma hujan. Perjalanan ke
Bogor semula tak terduga, sebab kereta yang saya tumpangi ternyata tak mampu
melancarkan situasi tercegat longsor di dua stasiun. Bersama seorang teman,
saya yang seharusnya turun di Stasiun Universitas Indonesia (UI), harus rela
meneruskan lebih dua jam perjalanan ke Bogor demi bermalam. Agak melankolis
memang, tapi bagi orang yang belum punya ketetapan hidup, bermalam di rumah teman
adalah salah satu karunia memantapkan silaturahmi. Setidaknya itu penyangkalan
saya.