Jumat, 26 Juni 2015

Agama Kapitayan

#nyantri 1
Oleh: Marlaf Sucipto

Jauh sebelum Islam datang (570 M), orang-orang di Nusantara sudah mewarisi agama Kapitayan. Agama yang memuja Sanghyang Taya; bermakna kosong atau hampa, atau suwung, atau awung-awung. Suatu yang absolut, yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan indra, tidak bisa dibayang-bayangkan seperti apa, tapi kehadirannya dapat dirasa. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat ”tan kena kinaya ngapa”; Keberadaannya tidak bisa diapa-apakan. Untuk itu, untuk bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu dan To, bermakna daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu dan To tunggal dalam Dzat. Satu pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal, memiliki dua sifat; kebaikan dan kejahatan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han; Sanghyang Wenang, sedangkan  Tu yang bersifat keburukan disebut Han-Tu; Sang Manikmaya. Tu-han dan Han-Tu adalah sifat dari Sanghyang Tunggal.

Senin, 01 Juni 2015

Sama-Sama “Wallahu al-muwafieq”

Djoko pitoenoe 

Oleh: Libasut Taqwa

Seringkali saya mengkhayal, bagaimana laku sistem pembelajaran di bilik-bilik perkuliahan Universitas atau perguruan tinggi nomor wahid dunia. Model perdebatan mahasiswanya, interaksi antara dosen-mahasiswa di kelas, hingga perkara remeh-temeh seperti lelucon, atau sentimen kepemudaan. Khayalan itu menjejal jauh dan terkadang di luar batas imaji itu sendiri. Ini saya sadari karena saya hanya mampu –sementara waktu- menempuh studi di kelas 300 dunia. Tak pula saya terlalu berharap tinggi, toh hidup punya caranya sendiri.

Tapi setidaknya itu telah saya rasakan kini. Walaupun hanya dalam bentuk replika, tapi prototype-nya serupa, ibarat asli tapi palsu, atau kita sering sebut kw-1. Baiklah, saya akan mulai mengurut pengalaman ini. Di sebuah kelas, biasanya kami sebut The Religion and Ideology in Middle East, pengajar bertubuh gempal terlihat lancar berbahasa Ibrani. Langgamnya tepat, dengan presisi ucapan sempurna. Hal ini wajar, karena ia dulu mondok di Yeshiva, Pondok pesantren-nya Yahudi. Jangan tanya bahasa Arab, ia lama di Tambakberas. Masih kurang? Pria ini lulusan al-Azhar di Mesir itu. Jadi mungkin Arab-nya mirip seperti kefasihan sahabat saya Bung Ahmad Maududi di Surabaya kalau bicara. Masih kurang juga? Untuk tahu saja, kalau pria dengan tinggi sekitar 160 senti ini adalah penggondol MAJS (Master of Jewish Studies) dari Harvard University, tempat belajar yang diinisiasi oleh beberapa jenius songong –saking pintarnya- dari Cambridge. Saya tak habis pikir, orang macam apa ini!. kulitnya coklat sawo menunjukkan ia benar orang Indonesia. Logatnya yang tebal dan berat menandakan si gempal ini orang Jawa, Khas. Walau pakai pengantar Inggris, medhok-nya kental. Sering dalam mengajar ia asyik sendiri sebagai selingan, karena mungkin tahu, tak banyak dari kami yang mengerti alur pikirnya.