Selasa, 29 September 2015

Indonesia Itu Khilafah Dalam Bahasa Lokal

Libasut Taqwa*

Paling awal, saya mohon maaf sebab setelah beberapa waktu tulisan Bung Jauhar dipublis ke Facebook, saya baru sempat memberikan sedikit tanggapan sekarang, bukan sebab saya menerima dan sebegitunya turut mengamini apa yang disampaikan, namun lebih karena beberapa hal, pertama; tugas kuliah saya yang “lumayan” membuat saya tersendat untuk sekedar menggores tulisan. Jadilah tulisan ini di tengah-tengah penyelesaian makalah perkuliahan saya tentang Islamic Worldview dalam konsep Fazlur Rahman dan Sayyid Qutb.

Transform Word South East Asia

Oleh: Qori Maghfirotillah*

“Tidakpentingapapun agama atau sukumu.Kalaukamubisamelakukansesuatu yang baikuntuksemua orang, orang tidakakanpernahbertanyaapaagamamu”
(Gus Dur)



Dari potongan kalimat di atas, dapat kita simpulkan bahwa Gus Dur—Abdurrahman Wahid, salah seorang cendekia yang diakui dunia, mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi meributkan hal-hal yang berkenaan dengan atribut, seperti halnya agama, etnis, organisasi, dan sebagainya. Sebagaimanusia, kita hanya akan mendapatkan tempat di dada semesta apabila keberadaan kita dapat membawa kebermanfaatan dan kebaikan bagi sesama ciptaan-Nya.

Peng-kotak-kotak-an atas nama agama tak lagi menjadi soal apalagi  halangan bagi pemeluk agama tertentu untuk menjadi bermanfaat bagi keluhuran kemanusiaan yang bersifat universal. Saya temukan suatu malam pada saat menghadiri sebuah dialog lintas agama dengan tajuk sebagaimana tema tulisan ini ditulis, “overcoming poverty and ideology violence through a talk; a world conference”.

Memperingati Hari Damai Internasional

Oleh: Marlaf Sucipto

Hari ini (21/9) atas nama Indonesia Belajar Institut (IBI), saya menghadiri sebuah acara bertajuk International Day of Peace. Acara yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan penggerak utamanya adalah komunitas anak muda yang tergabung dalam Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia. Acara ini dihelat dalam rangka agar kita terus menyemai damai, mulai dari kata dan tindakan, di mana pun, kapan pun, dan saat dalam kondisi seperti apa pun kita hidup.
 
Peringatan hari damai international lahir, lebih karena kata dan prilaku sebagian manusia, sudah mulai tidak mendamaikan. Mereka cenderung semena-mena dalam memperlakukan sesama ciptaan-Nya. Memang, sejarah pengrusakan di muka bumi ini sebab utamanya karena ulah manusia yang takluk tunduk atas nafsu serakahnya sendiri. Ia mau melakukan apa pun, membunuh, merusak, mengeksploitasi di luar batas kewajaran hanya semata pemujaannya atas keserakahan tersebut. Kini, mereka yang gandrung memuja keserakahan, kerap berlindung di balik kata-kata yang seakan baik. Modernis, maju, beradab, dan istilah-istilah lain yang sengaja dicipta untuk memupuk delusi hidup.

Jumat, 04 September 2015

Berbagi Pandangan Tentang Khilafah, NKRI dan Penjajahan

Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[1]
Pertama-tama, perlu diketahui ini bukan tulisan pembelaan, ini juga bukan tulisan bantahan, manakala ada kalimat yang bernada pembelaan dan bantahan semata-mata ingin mengajukan perspektif lain saja, yang mungkin dirasa kontradiktif dengan wacana yang ditulis oleh kawan saya Marlaf Sucipto dan Libasut Taqwa. Itu saja. Saya berusaha menyampaikan perspektif lain itu semampu saya.

Ada yang berfikir begini: bahwa di suatu negeri eksistensi sebuah gerakan diberangus dan para aktifisnya banyak yang mendekam di penjara-penjara rezim. Lantas dari fakta itu di buatlah penilaian terhadap ketidaklayakan ide yang diusung dari gerakan tersebut. Namun, saya punya cara berpikir berbeda. Saya tidak terburu-buru menilai kelayakan suatu pemikiran dari aspek penerimaan masyarakat. Kenapa? Karena banyak pemikiran dalam sejarah manusia yang awalnya ditentang dan berusaha diberangus namun pada akhirnya ia menjadi pemikiran yang diadopsi oleh jutaan manusia. Ide Indonesia merdeka misalnya, ide ini juga awalnya kontroversi dan mendapat penentangan bahkan pengusungnya disebut ekstrimis. Mereka diperangi dan diasingkan. Sebuah ide 14 abad yang lalu di tanah Arab juga diperangi dan diboikot. Para pemeluknya dijuluki orang gila dan penyihir. Tapi ide-ide itu kini dinikmati dan dipeluk oleh jutaan manusia. Babakan sejarah pemikiran orang Eropa, pernah melalui satu fase yang heroik, yang sampai hari ini terus dikenang sebagai awal kemenangan dan kebebesan alam berpikir. Ya, itulah abad pencerahan. Pada awalnya ia ditandai dengan penyebaran ide-ide baru. Ide yang secara heroik menentang rezim gereja yang despotik itu. Lalu ia menjadi arus baru yang ternyata mendapat dukungan massa dan mampu meruntuhkan dominasi gereja dan sistem feodalisme. Ide baru itu ialah sekulerisme yang dirintis oleh para filosof, ditulis dalam ribuan buku, didiskusikan dalam lingkaran-lingkaran ilmuwan dan rakyat jelata meski di bawah bayang-bayang kejamnya inkuisisi. Namun akhirnya ide ini menang dan Eropa menikmati tatanan masyarakat baru yang hingga kini mereka bangga-banggakan itu. Jadi saya punya cara berpikir yang berbeda, saya tidak memutuskan ketidaklayakan sebuah pemikiran dari realita bahwa pemikiran itu yang menganutnya masih sedikit, mendapat penentangan dan lain sebagainya. Jika pemikiran itu bersebrangan dengan status quo, namanya penentangan itu merupakan hal yang alamiah.