Jumat, 29 Agustus 2014

Dramaturgi Pengemis Jl. A Yani 117 Surabaya

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater pertunjukan fiksi di atas panggung di mana seorang aktor memainkan suatu plot karakter sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan aktor tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari pertunjukan drama yang disajikan. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh seorang filosof Yunani, Aristoteles, sekitar tahun 350 SM, dengan menerbitkan sebuah buku yang sampai sekarang menjadi acuan dalam dunia teater berjudul Poetics.

Bila Aristoteles di atas mengungkapkan istilah Dramaturgi dalam artian seni, maka Erving Goffman mendalami Dramaturgi dari segi Sosiologi. Berawal dari ketertarikan terhadap teori dramatisme Kenneth D. Burke, yang mengenalkan dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Dramatisme lebih memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan. Goffman mendalami kajian dramatisme dan menyempurnakannya dalam buku berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, sebuah buku yang mengkaji fenomena interaksi simbolik dan kajian mendalam mengenai konsep dramaturgi.

Jumat, 22 Agustus 2014

ISIS dan Benturan Peradaban

Oleh: Davida Ruston[1]
Istilah ISIS (Islamic State of Iraq & Syiria) sudah tak asing lagi diperdengarkan oleh banyak khalayak. Di Indonesia sendiri nama ISIS menjadi bagian perbincangan yang cukup hangat sejak beredarnya sebuah video streaming Jihadis asal Indonesia yang mengajak sebagian umat muslim untuk turut berperang dan menegakkan khilafah di bumi Syam.

Beragam respon diperagakan banyak kalangan, ada yang menunjukkan dukungannya melalui mural (vandalism), pembaiatan, dan ada pula yang menolak secara tegas paham ini masuk ke Indonesia. Jika kita melihat sejarah, cikal bakal ISIS atau biasa juga disebut sebagai ISIL (Islamic State Of Iraq & Levant) sebetulnya lahir sejak dimulainya agresi Amerika ke Iraq pada tahun 2003. Sejak itu, kaum mayoritas Syiah mengambil alih kekuasaan dan pada gilirannya merepresi golongan Sunni. Tentu saja kalangan Sunni tidak diam saja. Pemberontakan kalangan Sunni mulai muncul. Kelompok teroris seperti Al Qaeda masuk ke Irak dan kelompok-kelompok pemberontak lokal yang terdiri dari kalangan minoritas Sunni mulai bertempur melawan tentara AS. Sejak itu, warga Irak terbelah berdasarkan agama, Sunni yang umumnya tinggal di utara dan Syiah yang umumnya di selatan. ISI yang kini menjadi ISIS adalah underbow dari jaringan al-Qaeda, yang pada tahun 2010 (hingga sekarang) dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi. 

Jumat, 08 Agustus 2014

Melestarikan Budaya Hari Raya Ketupat

Oleh: Junaidi Khab[1]
Jangan pernah mengeliminasi suatu budaya yang tumbuh di lingkungan kita. Karena budaya itu kita akan mampu hidup dan bersaing dengan masyarakat luas serta bisa dikenal oleh publik. Suatu budaya akan menjadi identitas tersendiri yang mampu mengangkat martabat, pangkat, dan jati diri suatu bangsa baik secara lokal mapun nasional.

Ada suatu budaya atau tradisi yang dianggap tak begitu penting, namun kenyataannya secara tidak langsung membangun kehidupan pelakunya. Begitu pula ada budaya yang memang diperhatikan dan dianggap penting karena dampak dan pengaruhnya dirasakan secara langsung oleh penduduk setempat sehingga pemerliharaannya dijaga secara simultan.

Jumat, 01 Agustus 2014

Friksi Zionisme

Oleh: Davida Ruston Khusen[1]
Berawal dari sebuah percakapan Live Chat dengan seorang teman yang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia menanyakan kepada saya secara maraton beberapa pertanyaan mengenai perseteruan Israel-Hamas, bagaimana respon muslim di Indonesia terhadap agresi militer Israel?, Yahudi dan penumpasan sipil di Gaza?, cara macam apa yang dapat menghentikan mereka menurutmu?, ini kejahatan agama sudah harusnya dihentikan ungkapnya di akhir pertanyaan. 

Cukup lama saya berfikir sembari membaca berulang-ulang pertanyaan demi pertanyaan tersebut. Pernyataan di bagian akhir membuat saya semakin gamang untuk menjawab, benarkah ini kejahatan agama?, bukankah Zionisme itu menganut paham sekuler, bukankah peperangan ini perebutan teritorial, bukannya umat Yahudi (selanjutnya di baca Judaisme dalam bahasa Ibrani) juga banyak yang menentang terhadap praktek Zionis ini. 

Dari keraguan itu saya terus mencari tahu genealogi Zionisme dan beberapa latar belakang bangsa Yahudi yang menghuni Israel. Sampai pada sebuah buku pencarian itu terhentikan, ya The Question Of Palestine (Pertanyaan Palestine) karangan Edward Said. Dari buku ini saya sedikit mendapat jawaban tentang kisah kelahiran Zion atau Zionisme yang sejatinya mendapatkan pertentangan yang luar biasa di kalangan Judaism. Zionisme sendiri sejatinya merupakan salah satu anak kandung dari gerakan antisemit di Eropa. Yang dimotori oleh Theodor Herzl (1860-1904),  wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai suatu ketika ia merasa  Eropa sejatinya menampik cintanya (pertengahan abad 19).